Sabtu, 05 Februari 2011

PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN SYARI’AH PADA LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH

Oleh Heri Junaidi

A. Pengantar
Makalah ini hanya menyoroti aspek kompetensi kelembagaan pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa perjanjian syari’ah pada lembaga-lembaga keuangan syari’ah, untuk kajian mendalam digali 4 kasus sengketa ekonomi Islam. Hal ini perlu dilihat dengan beberapa sudut penilaian, Pertama, Hukum Islam sebagai sebuah hukum yang hidup di Indonesia mengalami perkembangan dari masa kemasa. Pasca-kemerdekaan terjadinya perubahan kompetensi Peradilan Agama (PA) sebagai peradilan Islam di Indonesia yang pada awalnya eksekusi fiqh para fuqaha’ harus dikuatkan oleh Peradilan Umum dengan sumber daya para hakim hanya berpendidikan Syari’ah tradisional dan tidak berpendidikan hukum. Kedua, Kelembagaan tidak berpayung pada Mahkamah Agung. Sejak berlakunya undang-undang nomor 7 tahun 1989 pada tanggal 29 Desember 1989 dan Undang-Undang Pengadilan Agama Nomor 3 Tahun 2006, peradilan agama berjalan menuruti mekanisme peradilan negara yang sesungguhnya. Artinya peradilan agama menjadi bagian dari peradilan negara yang bersama-sama dengan peradilan umum, peradilan tata usaha negara dan peradilan militer melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia ditambah dengan penyelesaian hal-hal yang berkenaan dengan ekonomi syari’ah.
Dari sini tonggak gerakan pemberdayaan konsep syari’at yang ditandai antara lain dengan munculnya gerakan ekonomi Islam untuk mengganti ekonomi konvensional yang berbasis sistem bunga (ribawi) yang dianggap tidak adil dan eksploitatif. Sehingga 1 Mei 1992 resmi beroperasi Bank Mumalat Indonesia (BMI) dengan sistem bagi hasil sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1992 tentang Bank berdasarkan prinsip bagi hasil. Perbankan syariah mulai menemukan landasan hukum seperti tertuang dalam Undang-undang nomor 10 tahun 1998 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang perbankan, mengatur dengan rinci landasan hukum, dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah secara eksplisit. Undang-undang ini juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang (window) syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah. Menjelang akhir tahun 1999 terjadi booming bank-bank konvensional membentuk cabang syariah, seperti bank IFI, bank Niaga dan bank BNI. Bahkan pada awal tahun 2000 Bank Mandiri telah mendirikan anak perusahaan dengan nama Bank Syariah Mandiri. Belum lagi munculnya 898 baitul mal wa tamwil yang merupakan lembaga keuangan mikro syari’ah .
Pada saat tersebut berdiri pula badan arbitrase syariah untuk menangani perkara antara nasabah dan perbankan syariah tersebut. Lembaga arbitrase tersebut dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pada tanggal 21 Oktober 1993, berdasarkan SK No Kep-392/MUI/V/1993. Pada tahun 2003, beberapa bank atau Unit Usaha Syariah (UUS) lahir sehingga BAMUI diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) hingga kini. Perubahan tersebut berdasarkan SK MUI No Kep-09/MUI/XII/2003 tertanggal 24 Desember 2003. Pada era selanjutnya diundangkanlah UU Pengadilan Agama No. 3 Tahun 2006 sebagai produk legislasi yang pertama kali memberikan kopetensi kepada Peradilan Agama dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah yang sekaligus sebagai bentuk perluasan kompetensi Pengadilan Agama antara lain meliputi masalah ekonomi syariah. Secara tegas kompetensi penyelesaian perkara ekonomi syariah ini termaktub dalam Pasal 49 UUPA 2006, antara lain dinyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah”. Dalam penjelasannya bahwa yang dimaksud dengan ”ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah.

B. Kasus sengketa perjanjian syari'ah
Ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasurasi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah. Perkara yang timbul antara lain soal pembiayaan al-mud}arabah (bagi hasil), al ba’i bithama>n ajil (untuk pembelian barang), al-mud}arabah muq}qayadah (investasi khusus), serta klaim asuransi barang terkait surat perjanjian angkutan. Di dalam UU No. 23 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU NO. 3 Tahun 2004, produk hukum operasional berupa PBI ini tidak kurang dari 12 kali disebutkan dan tersebar pada 11 pasal. Atas kuasa UU langsung, produk putusan BI dapat berupa Surat Keputusan Direksi (SKD) dan PBI , dan dapat pula dalam bentuk lainnya. Produk putusan BI dalam bentuk SKD dan PBI, antara lain: (1) SKD BI No. 32/34/Kep/Dir Tgl. 12 Mei 1999 tentang BU Berdasarkan Prinsip Syariah, sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 6/24/Pbi/2004 tentang BU Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, terakhir telah diubah dengan PBI No. 7/35/Pbi/2005; (2) SKD BI No. 32/36/Kep/Dir Tgl. 12 Mei 1999 tentang BPR Berdasarkan Prinsip Syariah, sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 6/17/Pbi/2004 tentang PBR Berdasarkan Prinsip Syariah, terakhir telah diubah dengan PBI No. 8/25/Pbi/2006.
Selengkapnya produk putusan BI juga telah secara spesifik mengatur pelbagai aspek kegiatan perbankan syariah. Termasuk di antaranya mengenai Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antarbank Atas Hasil Kliring Lokal, Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah, Sertifikat Wadiah BI, Prinsip Kehati-Hatian Dalam Kegiatan Penyertaan Modal, Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah , Kualitas Aktiva Produktif Bagi Bank Syariah, Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bagi Bank Syariah, Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana. Beberapa kasus yang berkenaan dengan ekonomi syariah yaitu kasus Putusan Pengadilan Agama Bukittinggi Nomor: 284/Pdt.G/2006/PA.Bkt. Perkara sengketa ekonomi syari’ah yang terjadi di wilayah yurisdiksi Peradilan Agama Bukittinggi ini adalah merupakan kasus sengketa dalam perkara ekonomi syari’ah yang pertama di Indonesia setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 20 Maret 2006. Daya magnet dari kasus ini sehingga menjadi sangat menarik adalah, di samping sebagai kasus perkara ekonomi syari’ah pertama juga dalam proses peradilannya sudah melibatkan persengketaan yurisdiksi antara Peradilan Agama dan Peradilan Negeri.Terjadinya sengketa dalam perkara ekonomi syariah ini, bermula dari hubungan perjanjian/ Akad antara H. Effendi bin Rajab dan Dra. Fitri Effendi, Psi. binti Munir (Penggugat I dan II) dengan PT. Bank BUKOPIN Pusat-yang pelaksanaannya dilakukan melalui Bank BUKOPIN Cabang Syariah Bukittinggi (Tergugat I) dalam akad al-Murabahah. Permasalahan muncul tatkala penggugat I sebagai nasabah tidak melaksanakan atau terlambat atau terkendala untuk melakukan pembayaran atas akad murabahah tersebut kepada Tergugat I Bank BUKOPIN.
Berdasarkan keterlambatan Penggugat I, kemudian Tergugat I atas dasar putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi dalam perkara Nomor: 08/PDT.BTH/2004/PN-BT, dan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Bukittinggi nomor: 03/PDT.EKS/2006/PN-BT tanggal 4 Juli 2006 untuk melaksanakan eksekusi lelang atas objek lelang dari harta jaminan Penggugat I yang telah diperjanjikan untuk melunasi pembiayaan yang bermasalah/ terkendala akibat keterlambatan Penggugat I. dalam hal pelaksanaan lelang dan pelaksanaan penetapan putusan dari PN, Tergugat I telah melakukan publikasi agar terpenuhinya asas publisistas pelaksanaan lelang dan Pengadilan Negeri Bukittinggi tersebut juga telah mengumumkannya melalui iklan di surat Kabar Harian Umum Singgalang tanggal 18 Juli 2006 sebagai Pengumuman lelang pertama, dan pada tanggal 02 Agustus 2006 sebagai pengumuman lelang kedua. Penggugat I dalam perjalanan waktu dan perkembangan hukum yang cukup dinamis terutama dalam perkara ekonomi syari’ah ini, kemudian menyadari bahwa keputusan Pengadilan Negeri Bukittinggi tersebut adalah cacat hukum, dengan asumsi bahwa disamping putusan PN tidak berdasarkan hukum, PN juga tidak kompeten mengeksekusi putusan pasca diundangkannya UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Kasus yang akan dibahas ini, adalah seperti dapat dibaca dalam putusan Pengadilan Agama Bukittinggi yang mengadili perkara perdata agama tentang “akad al-murabahah” pada persidangan tingkat pertama. Sengketa ekonomi syariah ini terjadi dalam bidang perbankan, yakni antara: H. Effendi bin Rajab dan Dra. Fitri Effendi, Psi binti Munir (Penggugat I dan II) melawan PT. Bank BUKOPIN Pusat-yang pelaksanaannya dilakukan melalui Bank BUKOPIN Cabang Syariah Bukittinggi, Pemerintah RI Cq. Departemen Keuangan RI. Cq. Dir. Jend Piutang dan Lelang Kantor Wilayah I Medan Cq. Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) Bukittinggi dan Defrianta Sukirman (Tergugat I, II dan III) serta turut tergugat I, Yulfaizal . SH. (Notaris di Bukittinggi dan Turut tergugat II, Badan Pertananahan Nasional Cq. Kepala Kantor Pertanahan Kota Bukittinggi.
Perkara sengketa ekonomi syariah ini, sebelumnya telah diajukan ke PN Bukittinggi dalam perkara Nomor 08/PDT.BTH/2004/PN.BT dan telah diputus, namun seiring dengan lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang menambah kewenangan peradilan agama dalam memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ekonomi syariah, termasuk di dalamnya perkara (sengketa) perbankan syariah, para penggugat mengajukan kembali perkaranya di Pengadilan Agama Bukittinggi dengan Nomor perkara 284/Pdt.G/2006/PA.Bkt. Adapun pokok masalah yang menjadi sengketa ekonomi syariah ini adalah Tentang hubungan hutang-piutang antara nasabah dan Bank, yang pada mulanya menggunakan akad al-murabahah yakni akad jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang telah ditentukan dan disepakati untuk pihak Bank sebagai penjual barang, sementara nasabah sebagai pembeli barang juga dengan ketentuan-ketentuan yang disepakati. Selanjutnya, antara nasabah dan bank juga sudah bersepakat dalam hal lamanya pembiayaan, besarnya keuntungan dan besarnya angsuran dalam pembayaran pembiayaan. Transaksi seperti ini dalam kitab al-Umm, Imam Syafi’i dinamakan dengan al-amir bisy syira. Namun dalam kasus ini, yang terjadi adalah bahwa dalam perjanjian akad al-murabahah Akte No. 2 bukti P-1/1 tersebut dinyatakan bahwa seolah-olah Tergugat I menyediakan barang-barang pesanan Penggugat I seharga Rp. 500.000.000,- dan selanjutnya seolah-olah Tergugat I menjual barang tersebut kepada Penggugat I dengan harga Rp. 794.816.460,- dengan mengambil keuntungan dari harga pokok sekitar Rp. 294.816.460,- padahal sebenarnya barang yang dibelikan Tergugat I tersebut tidak ada dan begitu juga Penggugat I tidak ada membeli barang kepada Tergugat I.
Dalam hal telah terjadinya pelelangan yang berlangsung dalam proses lelang yang diajukan oleh Tergugat II, kemudian dianggap cacat hukum oleh Penggugat I, untuk itu, kemudian Penggugat I mengajukan surat kepada tergugat I untuk tidak melanjutkan proses pelaksanaan lelang atas dasar Pelaksanaan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Bukittinggi, yang juga dianggap cacat hukum oleh Penggugat I berdasarkan pada ketentuan pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006, yang berlaku sejak tanggal 20 Maret 2006. Atas dasar perkara yang diajukan oleh Penggugat I, Tergugat mengajukan eksepsi dalam persidangan yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pengadilan Agama Bukittinggi tidak berwenang menangani perkara tersebut karena sebelumnya sudah diputus oleh Pengadilan Negeri, dan telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan demikian Para Tergugat memohon kepada Hakim agar menolak gugatan Penggugat seluruhnya atau menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard). Atas eksepsi para Tergugat tersebut Hakim Pengadilan Agama Bukittinggi memberikan pertimbangan, bahwa eksepsi para Tergugat dan Turut Tergugat tidak beralasan hukum, dan harus dinyatakan ditolak. Dengan pertimbangan bahwa setelah Majelis Hakim meneliti secara cermat, telah ditemukan beberapa fakta dalam persidangan yang kemudian dijadikan landasan untuk memberi pertimbangan hukum yang pada pokoknya akad murabahah yang dilakukan oleh debitur dan kreditur telah menyimpang dari prinsip-prinsip akad syariah, karena selain barang yang diperjualbelikan tidak ada, pengalihan hutang (take over) yang dilakukan oleh Bank BRI Cabang Bukittinggi dengan Bukopin Syariah Cabang Bukittinggi bertentangan dengan fatwa DSN-MUI. Atas dasar itu, majelis hakim memutuskan sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan para penggugat sebagian;
2. Menyatakan Akad Jual Beli al Murabahah yang dilaksanakan oleh Penggugat I dan Tergugat I sebagaimana tersebut dalam akte No. 2 Tanggal 2 Juli 2003 dan No. 43 Tanggal 27 Agustus 2003 adalah batal menurut hukum; -
3. Menyatakan bahwa hubungan Penggugat I dan Tergugat I adalah hubungan pinjam-meminjam uang menurut syariah (dengan akad al-Qardh);
4. Menyatakan bahwa hutang Penggugat I kepada Tergugat I sebesar Rp. 850.000.000,- (Delapan ratus limapuluh Juta Rupiah) dikurangi dengan Rp. 363.611.240,- = Rp. 486.388.760,- (Empat ratus delapan puluh enam juta Tiga ratus delapan puluh delapan ribu Tujuh ratus enam puluh rupiah);
5. Menghukum tergugat I untuk mengembalikan kelebihan hasil penjualan lelang jaminan hutang kepada para penggugat sebesar: Rp. 933.984.000,- dukurangi dengan Rp. 486.388.760,- = Rp. 447.595.240,- (Empat ratus empat puluh tujuh juta Lima ratus Sembilan puluh lima ribu Dua ratus empat puluh rupiah);
6. Menolak gugatan para penggugat untuk selebihnya;
7. Menghukum para penggugat dan tergugat I secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara yang hingga kini dihitung sebesar Rp. 1.136.000,- (Satu juta seratus tiga puluh enam ribu rupiah) dengan perincian masing-masing:
a. Para Penggugat sebesar Rp. 568.000,- (Lima ratus enam puluh delapan ribu rupiah).
b. Tergugat I sebesar Rp. 568.000,- (Lima ratus enam puluh delapan ribu rupiah).
Atas putusan perkara Peradilan Agama Bukittinggi baik Penggugat maupun Tergugat merasa tidak puas, oleh karenanya, kemudian baik Penggugat maupun Tergugat mengajukan proses hukum di Peradilan Agama Tingkat Banding, yakni di Pengadilan Tinggi Agama Padang dengan Nomor Register: 32 dan 33/Pdt.G/ 2007/ PTA.Pdg. karena masing-masing pihak Penggugat dan Tergugat sama-sama merasa tidak puas atas putusan Pengadilan Agama Bukittinggi, kemudian juga sama-sama mengajukan banding melalui Panitera Pengadilan Agama Bukittinggi, bahwa para Pembanding, masing-masing H. Effendi bin Rajab dan Dra. Psi. Fitri Effendi bin Munir pada hari selasa tanggal 18 September 2007 dan Ir. Eriandi (Pimpinan Bank BUKOPIN Cabang Syariah Bukittinggi) pada hari senin tanggal 17 September 2007 telah mengajukan permohonan banding atas putusan Pengadilan Agama Bukittinggi nomor: 284/Pdt.G/2006/PA.Bkt tanggal 5 September 2007. Permohonan banding tersebut telah diberitahukan kepada para Terbanding dan Turut Terbanding pada tanggal 21 September 2007 dan tanggal 2 Oktober 2007; Dalam salinan Putusan Pengadilan Tinggi Padang perkara nomor: 32 dan 33/Pdt.G/2007/PTA.Pdg, menyatakan bahwa kedua permohonan banding yang diajukan mempunyai objek yang sama, maka Pengadilan Tinggi Agama Padang akan mempertimbangkan kedua perkara ini dalam satu putusan agar tidak terjadi disparitas dalam perkara yang sama.
Bahwa para tergugat merasa tidak puas atas putusan Peradilan Agama Bukittinggi, kemudian para tergugat mencantumkan ketidak puasannya berdasarkan hukum dalam eksepsi yang diajukan oleh kuasa hukum tergugat kepada Pengadilan Agama Bukittinggi tanggal 13 Desember 2006 yang pada intinya mengemukakan alasan sebagai berikut:
1. Bahwa pokok perkara yang diajukan para penggugat telah diputus oleh Pengadilan Negeri Bukittinggi dengan perkara nomor: 08/Pdt.BTH/2004/PN.BT tanggal 24 Desember 2004.
2. Bahwa objek perkara sebidang tanah dan bangunan di atasnya dengan sertifikat hak milik no. 311/Kelurahan Belakang Balok telah dilelang berdasarkan Risalah Lelang nomor: 161/2006 tanggal 16 Agustus 2006.
Terhadap eksepsi tersebut, Hakim Banding berpendapat bahwa eksepsi yang diajukan oleh para tergugat itu dapat diterima karena didasarkan pada perjanjian antara nasabah (debitur) dengan pihak Bank (kreditur) terjadi berdasarkan akad jual beli al-murabahah. Hakim Banding juga berpendapat dalam penyelesaian perkara perbankan, khususnya termasuk dalam ekonomi syariah tetap berpegang kepada akad/ perjanjian standar yang dibuat antara nasabah (debitur) yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Ternyata persetujuan/ perjanjian yang telah dibuat oleh Penggugat dengan Tergugat dalam perkara ini terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 3 tahun 2006, seharusnya, atas dasar itu, Pengadilan Agama Bukittinggi menyatakan dirinya tidak berwenang; Menimbang, bahwa Hakim Banding tidak sependapat dengan Hakim Tingkat Pertama dalam penyelesaian pokok perkara ini dengan mengemukakan alasan-alasan bahwa:
1. Untuk mendapat fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu, pihak nasabah (debitur) telah membuat persetujuan/ perjanjian (akad) dengan PT. Bank BUKOPIN cabang syariah Bukittinggi (kreditur), sesuai akad yang dibuat kedua belah pihak ternyata telah memenuhi syarat (sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal).
2. Bahwa pada pasal 17 dari kedua akad jual beli al-murabahah tersebut berbunyi mengenai akad ini dan segala akibat hukumnya kedua belah pihak merujuk kepada Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dan memilih domisili hukum yang umum dan tetap di kantor Panitera Pengadilan Negeri Bukittinggi serta perkara yang diajukan oleh para Penggugat adalah merupakan akibat hukum dari akad jual beli al-murabahah tersebut, maka sesuai dengan bunyi akad tersebut yang berhak menyelesaikan kasus atau sengketa itu adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) bukan Pengadilan Agama.
3. Absolut Competitie badan peradilan agama dalam penyelesaian perkara yang termasuk dalam bidang ekonomi syariah sejak disahkan Undang-Undang No. 3 tahun 2006 pada tanggal 20 Maret 2006 dan dengan memperhatikan perjanjian standar yang dilakukan nasabah (debitur) dengan pihak perbankan (kreditur) sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 18 Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka Hakim Tingkat Banding menyatakan bahwa putusan Hakim Tingkat Pertama tidak lagi bisa dipertahankan dan karena itu harus dibatalkan dan Pengadilan Tinggi Agama akan mengadili sendiri dengan menyatakan permohonan banding para Pembanding dapat diterima dan membatalkan putusan Pengadilan Agama Bukittinggi N0. 284/Pdt.G/2006/ PA.Bkt tanggal 5 September 2007 M bertepatan dengan tanggal 23 Sya’ban 1428. Dengan itu Pengadilan Tinggi Agama memutuskan untuk mengadili sendiri dengan menerima eksepsi para tergugat dan menolak gugatan provisi para penggugat. Sementara dalam Pokok Perkara, hakim berkeputusan:
1. Menyatakan Pengadilan Agama tidak berwenang untuk memeriksa perkara ini.
2. Membebankan biaya perkara pada tingkat pertama kepada para Penggugat sebesar Rp. 1.172.000,- (Satu Juta seratus Tujuh puluh Dua Ribu Rupiah).
3. Membebankan biaya perkara pada tingkat banding sebesar Rp. 6.000,- (Enam Ribu Rupiah) kepada Pembanding I (H. EFFENDI Bin RAJAB dan Dra. Psi. FITRI EFFENDI binti MUNIR).
Masih dalam perkara sengketa ekonomi syari’ah ini, para pihak masih belum merasa puas dan melakukan upaya hukum demi tercapainya keadilan hukum dengan upaya hukum di tingkat akhir, yakni upaya kasasi dengan register perkara kasasi pada Mahkamah Agung RI yakni Nomor: 292 K/AG/2008. Dalam memori kasasinya, para Pemohon Kasasi mengajukan beberapa pertimbangan hukum atas putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang Nomor: 32 dan 33/Pdt.G/2007/PTS.Pdg tanggal 09 Januari 2008, hal mana tersebut pada pokoknya ialah:
1. Bahwa Pengadilan Tinggi Agama Padang telah salah menerapkan hukum, karena selain menerima eksepsi dari para tergugat, juga memeriksa/ memberikan pertimbangan tentang pokok perkara sehingga terkesan tidak konsekuen.
2. Bahwa apabila ditinjau dari pasal 1320 dan 1335 KUH Perdata maka akad al-murabahah No. 2 Tanggal 2 Juli 2003 dan akad al-murabahah No. 43 tanggal 27 Agustus 2003 adalah perjanjian/ akad yang batal demi hukum, karena: Akad al-murabahah tersebut jelas-jelas melanggar syarat sah perjanjian yaitu dibuat dengan causa yang palsu atau causa yang tidak sebenarnya.
3. Akad al-murabahah tersebut jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan al-murabahah menurut ketentuan syar’i. Menurut ketentuan syar’i dalam jual beli al-murabahah keberadaan benda/ barang (‘ain) yang diperjualbelikan mutlak harus ada dan barang itu asalnya adalah milik kreditur atau Bank.
4. Bahwa pertimbangan Pengadilan Tinggi Agama Padang yang menyatakan: karena persetujuan/ perjanjian yang dibuat oleh Penggugat dan Tergugat dalam perkara ini terjadi sebelum berlakunya UU No. 3 tahun 2006 seharusnya Pengadilan Agama Bukittinggi harus menyatakan dirinya tidak berwenang.
5. Bahwa pertimbangan Pengadilan Tinggi Agama Padang yang menyatakan: untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu pihak nasabah (debitur) telah membuat persetujuan/ perjanjian (akad) dengan pihak PT Bank Bukopin Cabang Syariah Bukittinggi (Kreditur), sesuai akad yang dibuat oleh kedua belah pihak ternyata telah memenuhi syarat (sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal).
6. Pengadilan Tinggi Agama Padang tersebut adalah salah menerapkan hukum, karena:
a. Memang benar kompetensi absolute Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa yang termasuk dalam bidang ekonomi syariah dimulai sejak diundangkannya Undang-Undang No. 3 tahun 2006;
b. Benar akad al-murabahah antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi (Bank Bukopin Cabang Syariah) terjadi sebelum Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 berlaku, tetapi sengketa antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi (Bank Bukopin Syariah) terjadi pada saat Undang-Undang No. 3 tahun 2006 telah efektif berlaku, dengan demikian Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara ini;
7. Bahwa pertimbangan serta amar putusan judex facti saling bertentangan antara satu dengan yang lain sehingga telah salah dalam menerapkan hukum.
Mahkamah Agung berpendapat berdasarkan pertimbangan terhadap alasan-alasan tersebut, adalah bahwa mengenai alasan 1 sampai dengan 7 itu adalah merupakan alasan-alasan yang tidak dapat dibenarkan, oleh karena Pengadilan Tinggi Agama Padang tidak salah menerapkan hukum, lagi pula alasan-alasan ini mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal tersebut tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. Bahwa namun demikian menurut pendapat Mahkamah Agung, amar putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang harus diperbaiki karena belum tepat, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa karena objek sengketa dalam perkara a quo telah dilelang oleh Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara Bukittinggi sesuai Risalah Lelang No. 161/2006 tanggal 16 Agustus 2006 berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri Bukittinggi dengan Penetapan No. 03/PDT.EKS/2006/PN.BT tanggal 4 Juli 2006, maka gugatan para Penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima;
2. Bahwa gugatan para Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, karena perkaranya telah diselesaikan oleh Pengadilan Negeri Bukittinggi, bukan karena asas Retroaktif;
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi: H. Effendi bin Rajab, dan kawan tersebut harus ditolak dengan perbaikan amar putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang, sehingga amar selengkapnya sebagaimana akan disebut di bawah ini: Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, Undang-Undang No. 14 tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 tahun 2004, Undang-Undang No. 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2006 dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan; Mahkamah Agung mengadili dengan menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi, yakni: H. EFFENDI bin RAJAB dan Dra. Psi. FITRI EFFENDI binti MUNIR tersebut; dengan Memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang No. 32 dan 33/Pdt.G/PTA.Pdg tanggal 30 Januari 2008 M. bertepatan dengan tanggal 21 Muharram 1429 H., sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
1. Menerima permohonan banding dari para Pembanding;
2. Membatalkan putusan Pengadilan Agama Bukittinggi No. 284/Pdt.G/2006/PA.Bkt tanggal 5 September 2007 M. bertepatan dengan tanggal 23 Sya’ban 1428 H;
Dengan mengadili sendiri, bahwa dalam eksepsi; Menolak eksepsi para tergugat seluruhnya dan dalam provisi; Menolak gugatan provisi para Penggugat; sementara dalam pokok perkara, hakim memutuskan:
1. Menyatakan gugatan para penggugat tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard):
2. Menghukum para Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat pertama sebesar Rp. 1.172.000,- (Satu Juta Seratus Tujuh Puluh Dua Ribu Rupiah);
a. Menghukum para Pembanding I untuk membayar biaya perkara dalam tingkat banding sebesar Rp. 6.000,- (Enam Ribu Rupiah);
b. Menghukum para Pemohon Kasasi/ para Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 500.000,- (Lima Ratus Ribu Rupiah);
Perkara ekonomi syariah dalam wilayah hukum pengadilan Tinggi Agama Padang, mengalami proses yang cukup panjang dan menarik perhatian publik. Pengadilan Agama Bukittinggi tampaknya lebih fokus untuk menegakkan hukum materil, karena transaski akad jual beli al-muarabahah yang dilakukan oleh para pihak dianggap bertentangan dengan prinsip hukum syariah. Fakta persidangan membuktikan bahwa pengalihan hutang (take over) yang dilakukan oleh pihak dalam hal ini dari Bank BRI Cabang Bukittinggi ke Bank Bukopin Syariah Cabang Bukittinggi menyimpang dari ketentuan Fatwa DSN-MUI karena tidak adanya barang yang diperjual belikan. Dalam perspektif hukum Islam transaksi tersebut mengandung cacat (gharar) di samping juga mengandung unsur riba. Lebih lanjut PA Bukittinggi berpendapat bahwa sungguhpun menggunakan hukum perdata sebagaimana dimuat dalam Pasal 1320 dan 1335 KUH Perdata. Namun demikian PA Bukttinggi mengabaikan ketentuan hukum acara yang berlaku, semestinya perkara tersebut ditolak karena melanggar prinsip nebis in idem dan asas retroaktif (tidak berlaku surut). Atas dasar itulah PTA Padang membatalkan putusan peradilan tingkat pertama, bahkan hakim tingkat banding memberikan pertimbangan hukum, bahwa perjanjian akad nasabah (debitur) dengan PT Bank Bukopin Cabang Syariah Bukitingi (kreditur) telah sesuai akad sebagaimana ketentuan Pasal 1382 KUH Perdata. Semua akad yang dibentuk secara sah berlaku sebagai nash syariah. Berdasarkan isi akad seharusnya kompetensi penyelesaian perkara diajukan ke Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), karena klausul penyelesaian perkara memilih forum arbitrase yang berkedudukan dalam wilayah Pengadilan Negeri Bukittinggi, PA dalam hal ini tidak mempunyai kompetensi, karena UUPA baru diundangkan pada tahun 2006. Terhadap Putusan Pengadilan Tingkat Banding, Mahkamah Agung berpendapat bahwa PTA Padang tidak salah dalam menerapkan hukum, namun pertimbanagan putusan tersebut harus diperbaiki karena belum tepat, menurut majelis hakim tingkat kasasi seharusnya perkara yang diajukan dinyatakan tidak dapat diterima (nebis in idem), karena telah diselesaikan oleh PN. Dengan demikian tidak tepat jika alasan dalam pertimbangan hukum PTA Padang menggunakan dasar retroaktif.
Dari ilustrasi di atas, menitikberatkan penyelesaian perkara pada pokok materi gugatan. Jika dilihat secara subtantif pertimbangan hukum PA Bukittinggi tersebut dapat dibenarkan karena berdasarkan fakta perjanjian akad murabahah yang dilakukan oleh pihak debitur dan kreditur telah melanggar akad jual beli dalam perspektif hukum Islam, secara khusus telah melanggar ketentuan hukum materil yang berlaku. Perjanjian akad murabahah tersebut dapat dikategorikan sebagai mengandung cacat hukum (gharar) karena pengalihan utang dengan akad al-murabahah tetapi faktanya barang yang diperjualbelikannya tidak ada, dengan tidak adanya barang akad semacam itu dapat juga dianggap mengandung unsur tadlis (tipu daya). Namun demikian, bila dilihat dari sisi proses penyelesaian perkara tersebut telah mengabaikan asas hukum acara (hukum formal). Sesuai dengan tujuannya eksistensi hukum acara adalah dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan (to enforce the truth and justice), sehingga hukum acara oleh para hukum dikategorikan sebagai hukum milik publik, oleh karena itu penerapannya bersifat imperatif (mengikat) dan memaksa seluruh pihak dan hakim yang memutus perkara tersebut. Pengabaian terhadap ketentuan hukum acara dapat dianggap sebagai telah melanggar fair trial. Sebab tolak ukur penegakan hukum sangat tergantung dengan bagaimana hukum itu dilaksanakan secara jujur, transparan dan tidak memihak. Pengakan hukum acara juga dalam rangka memberikan hak kepada setiap orang diperlakukan secara adil dalam proses peradilan (due process rights). Suatu peradilan sudah dapat dikatakan menegakkan dan melaksanakan hukum secara fair trial dan due process rights jika dalam pemeriksaan perkara sejak awal sampai akhir putusan dijatuhkan sudah benar-benar berjalan sesuai dengan hukum acara yang berlaku.
Dari peristiwa hukum sebagaimana dideskripsikan di atas, tampaknya perbankan yang operasionalnya berdasarkan prinsip syariah, secara umum ternyata belum sepenuhnya melaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana konsepsi hukum Islam, dan secara khusus melanggar prinsip-prinsip syariah sebagaimana dijadikan prinsip dasar perbankan syariah. Sungguhpun PA Bukitinggi dianggap telah mengabaikan ketentuan hukum acara yang berlaku, namun dilihat dari sisi maslahah, PA Bukittinggi paling tidak telah dapat mengungkap tabir dan membuka mata para pihak yang konsen terhadap eksistensi perbankan syariah, ternyata bank-bank yang operasionalnya berdasarkan prinsip syariah faktanya dalam praktik masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh bank konvensional.
Selanjutnya pada Putusan Pengadilan Agama Purbalingga Nomor: 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg. Kasus yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa dalam perkara ekonomi syariah yang akan diangkat kali ini adalah dalam hal terjadinya wanprestasi atas akad al-Musyarakah. Dalam BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 poin 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pembiayaan dengan akad al-Musyarakah adalah Akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing. Dalam definisi lain, musyarakah diartikan sebagai akad antara dua orang atau lebih dengan menyetorkan modal dan dengan keuntungan dibagi sesama mereka menurut porsi yang disepakati musyarakah ini lebih dikenal dengan sebutan syarikat atau gabungan pemegang saham untuk membiayai suatu proyek, keuntungan dan proyek tersebut dibagi menurut presentase yang disetujui, dan seandainya proyek tersebut mengalami kerugian, maka beban kerugian tersebut ditanggung bersama oleh pemegang saham secara proporsional. Bank syariah dalam aplikasinya hanya menggunakan instrumen syarikat al-inan, karena jenis syarikat inilah yang lebih sesuai dengan keadaan perdagangan saat ini. Produk-produk yang dikeluarkan melalui syarikat biasanya beraneka ragam, di antaranya modal ventura, di mana bank ikut memberi modal terhadap suatu perusahaan dan dalam jangka waktu tertentu akan melepas kembali saham perusahaan tersebut kepada rekan kongsi dan kemungkinan juga tetap bermitra untuk jangka panjang. Di Indonesia, sudah ada banyak bank syariah yang melakukan produk seperti ini, dan jenis usaha yang dibiayai antara lain perdagangan, industri (manufacturing), usaha atas dasar kontrak dan lain sebagainya.
Awal terjadinya sengketa perkara ekonomi syariah ini adalah, pada tanggal 20 Juli 2005 Herman Rasno Wibowo bin Sodirin dan Harni Binti H. Ahmad Sudarmo selaku pedagang di wilayah hukum Pengadilan Agama Purbalingga melakukan perjanjian atau mengikatkan diri dengan akad al-Musyarakah (akte akad Nomor: 123/MSA/VII/05) untuk mendapatkan pembiayaan sebagai tambahan modal usaha dagang gula merah yang selama ini mereka tekuni sebesar Rp. 30.000.000,-. Namun, dalam prakteknya, para tergugat tidak menggunakan modal pembiayaan musyarakah tersebut sesuai perjanjian yang kemudian merugikan penggugat. Sebab itulah, kemudian penggugat menggunakan haknya untuk menarik kembali modal/ pembiayaan musyarakah tersebut. Permasalahan muncul tatkala Tergugat sebagai nasabah tidak melaksanakan atau terlambat atau terkendala untuk melakukan pembayaran atas akad musyarakah tersebut kepada Penggugat yakni para pihak yang dalam hal ini mewakili PT. BPR Syariah Buana Mitra Perwira. Para penggugat mengajukan gugatannya berdasarkan duduk perkara:
1. Tergugat yang telah diberikan modal untuk usaha dagang gula merah dan kelontongan dengan perjanjian pembiayaan musyarakah Nomor: 123/MSA/VII/05 tanggal 20 Juli 2005 sebesar Rp. 30.000.000,-. Namun, dalam prakteknya, para tergugat tidak menggunakan modal pembiayaan musyarakah tersebut sesuai perjanjian yang kemudian merugikan penggugat.
2. Bahwa setiap upaya penagihan yang dilakukan penggugat kepada tergugat tidak pernah ditepati (ingkar janji) dan tidak terlihat adanya itikad baik untuk menyelesaikan kewajiban-kewajiban penyelesaian pembiayaan.
3. Berdasarkan hal di atas, maka penggugat menuntut agar tergugat dapat memenuhi kewajibannya terhadap penggugat dengan konsekuensi bila tidak juga dapat memenuhi kewajibannya sejumlah tuntutan penggugat, maka jumlah tersebut akan terus bertambah karena bagi hasil dan/ atau denda ta’widh, serta biaya-biaya yang timbul karenanya, sampai seluruh kewajibannya dibayar lunas.
Untuk melakukan upaya penyelesaian perkara tersebut, Pengadilan Agama Purbalingga telah dengan sah dan patut memanggil para pihak, namun para tergugat ternyata tidak datang menghadap persidangan dan tidak menyuruh orang lain untuk menghadap sebagai kuasanya atau wakilnya yang sah juga tidak ada alasan yang jelas atas ketidakhadirannya dalam persidangan, maka hakim Pengadilan Agama memutuskan untuk menyatakan bahwa tergugat tidak hadir dan putusan atas perkara ini dapat dijatuhkan dengan verstek sesuai dengan pasal 125 HIR dan ketentuan syar’i yang terdapat dalam kitab I’ânah al-Thâlibîn Juz IV hal 238:
والقضاء على الغائب عن البلد او عن المجلس بتوار او تعزز ان كان لمدع حجة
Artinya: “Memutus atas Tergugat yang gaib dari wilayah Yuridiksi atau tergugat tidak hadir dalam persidangan sebab tawari atau ta’azuz adalah boleh apabila penggugat mempunyai hujjah”.
Dalam persidangan, majlis hakim melakukan beberapa pertimbangan atas gugatan para penggugat, antara lain:
1. Bahwa tergugat telah melakukan wanprestasi dengan sengaja telah mengalihkan modal/ pembiayaan untuk hal lain yang tidak sesuai dengan akad pembiayaan dan tergugat telah ingkar janji untuk memenuhi segala kewajibannya untuk melakukan penyelesaian pembiayaan musyarakah tersebut, bahkan terindikasi tidak memiliki itikad baik untuk melakukan upaya penyelesaian. Menurut Subekti bahwa debitur dapat dikatakan wanprestasi/ lalai apabila tidak memenuhi kewajiban atau terlambat memenuhinya atau memenuhinya tetapi tidak sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Berdasarkan itu, majelis hakim berpendapat bahwa tergugat dinyatakan telah melakukan wanprestasi.
2. Dalam hal ketidaktegasan penggugat untuk memohon pembatalan akad perjanjian musyarakah Nomor: 123/MSA/VII/05 tanggal 20 Juli 2005, tetapi memohon agar pokok pembiayaan dikembalikan. Hal ini, pada hakikatnya agar akad perjanjian tersebut dibatalkan dan tergugat segera mengembalikan permodal yang telah diberikan dengan segala kewajibannya. Untuk hal ini, majelis hakim merujuk pada pendapat DR. Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamiy wa adilatuhu Juz IV hal. 277 yang menjelaskan bahwa: akad perjanjian yang tidak dilaksanakan (لعدم التنفيد) atau dialihkan pelaksanaannya dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lain (اوانتقاله من حرفة الى حرفة), seperti yang terjadi dalam kasus ini, bahwa tergugat telah menggunakan modal/ pembiayaan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan dalam akad, maka perjanjian itu dapat dibatalkan (fasakh) dan dengan dibatalkannya perjanjian itu, maka akad itu telah berakhir. Pertimbangan majelis hakim juga mendasarkan pada ayat al-Qur’an Surat al-Mâ’idah ayat 1:
ياايهاالذين امنوا أوفوا بالعقود
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu”. Juga hadits Riwayat Abu Daud, Ahmad, Tirmidzi dan Daruquthni
المسلمون على شروطهم
Artinya: “orang-orang Islam terikat pada akad perjanjian yang mereka buat”. Atas dasar beberapa pertimbangan tersebut, maka diputuskan bahwa akad tersebut batal.
3. Bahwa penggugat telah dirugikan oleh terjadinya wanprestasi dan tidak dipenuhinya kewajiban oleh para tergugat, maka tuntutan agar tergugat membayar kewajibannya kepada penggugat yang terdiri dari:
- Pokok Pembiayaan : Rp. 29.080.000,-
- Denda Ta’widh : Rp. 7.729.569,-
- Biaya APHT : Rp. 262.000,-
: Rp. 37.071.569,-
Yang oleh majelis hakim dianggap telah sesuai dengan pasal 8 dan pasal 19 Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 7/46/PBI/ 2005. Karena itu, tuntutan dapat dikabulkan.
4. Permohonan peletakan sita eksekusi dan menetapkan secara hukum Kantor Lelang dan/ atau KP2LN Purwokerto untuk melaksanakan lelang jaminan, dalam pertimbangan majelis hakim, masih terlalu prematur, karena sita eksekusi dan lelang adalah proses eksekusi yang baru dapat dilaksanakan/ dimohonkan setelah putusan ini berkekuatan hukum tetap dan bila tergugat tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela. Dan atas dasar itu, permohonan sita eksekusi penggugat tidak dapat diterima.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka majelis hakim Pengadilan Agama Purbalingga memutuskan perkara ini dengan putusan:
1. Menyatakan para Tergugat yang telah dipanggil dengan patut untuk menghadap di persidangan, tidak hadir.
2. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek untuk sebagian.
3. Menyatakan para Tergugat telah melakukan wanprestasi.
4. Membatalkan akad perjanjian pembiayaan al-musyarakah Nomor: 123/MSA/VII/05 tanggal 20 Juli 2005.
5. Menghukum para Tergugat untuk membayar kepada Penggugat uang sebesar Rp. 37.071.569,- (tiga puluh tujuh juta tujuh puluh satu ribu lima ratus enam puluh sembilan rupiah)
6. Menghukum para Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp. 261.000,- (dua ratus enam puluh satu ribu rupiah).
Kasus yang terjadi di Pengadilan Agama Purbalingga ini, sebagaimana tertuang dalam putusan Nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg tanggal 29 Januari 2007, dalam akadnya terdapat klausul sebagai berikut: ”Tentang akad ini dan segala akibatnya serta pelaksanaannya para pihak memilih tempat kedudukan hukum (domisili) yang tetap dan umum di kantor kepaniteraan Badan Arbitrase Syariah (BAS) di Jakarta atau Pengadilan Negeri di Purbalingga dan/atau Panitia Urusan Piutang dan Lelang Negara (PUPLN) /Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang dan Lelang Negara (KP3LN) di Semarang”
Perjanjian Pembiayaan al-Musyarakah dalam kasus ini dibuat tanggal 20 Juli 2005 berdasarkan prinsip syariah, sengketa terjadi pada bulan Oktober 2006 dan perkaranya didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Purbalingga tanggal 23 Nopember 2006 yaitu setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 (berlaku sejak 20 Maret 2006). Dalam kasus ini, timbul pertanyaan lembaga mana yang berwenang mengadili, apakah Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) di Jakarta, ataukah Pengadilan Negeri Purbalingga, sebagaimana klausul atau isi akad, ataukah Pengadilan Agama Purbalingga sebagaimana pilihan Penggugat.
Berdasarkan ketentuan UU No. 30 Tahun 1999, adanya penunjukan badan arbitrase dalam akta perjanjian dalam menyelesaikan sengketa, maka klausul arbitrase tersebut berlaku dan mengikat para pihak (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999), sehingga pengadilan menjadi tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dengan perjanjian
Dalam kasus di atas, meskipun dalam jelas-jelas terdapat kalusul arbitrase, namun Pengadilan Agama Purbalingga menyatakan dirinya berwenang mengadilinya, yaitu dengan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian. Jika dihubungkan dengan adanya 3 (tiga) aliran dalam penafsiran tentang klausul arbitrase sebagaimana dimaksud Pasal 3 dan 11 UU No.30 Tahun 1999, dapat dinyatakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Agama Purbalingga lebih memilih aliran kedua atau ketiga dalam menafsirkan klausul arbitrase, bahkan Majelis Hakim tersebut bukan hanya mengenyampingkan klausul arbitrase, tetapi juga klausul pilihan domisili pada kepaniteraan Pengadilan Negeri Purbalingga.
Dalam ilmu hukum dikenal asas ”lex posteriore derogat legi priori” artinya peraturan yang baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama. Boleh jadi asas inilah yang menjadi pegangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Purbalingga untuk mengenyampingkan klausul domisili di kepaniteraan Pengadilan Negeri Purbalingga, karena berdasarkan asas hukum di atas, dapat ditegaskan bahwa sengketa perbankan syariah tersebut secara absolut menjadi kekuasaan/kewenangan Peradilan Agama (Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006), karena terjadinya sengketa tersebut pada bulan Oktober 2006 yaitu setelah lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 (berlaku sejak tanggal 20 Maret 2006) sehingga Pengadilan Negeri Purbalingga tidak ada kewenangan lagi untuk mengadilinya.
Seiring dengan produk tersebut, beberapa kasus yang juga yaitu: Kasus BUMN (X) mengajukan pembiayaan dalam skema murabahah (jual beli) kepada kedua bank syariah itu untuk membiayai pengadaan 100 unit kendaraan. Masing-masing bank syariah itu sepakat menyalurkan pembiayaan untuk 50 unit kendaraan. Satu kali, BUMN (X) terlambat membayar, namun, secara sepihak, salah satu bank tiba-tiba menaikkan harga jual akad murabahah. Padahal, sesuai akad perjanjian transaksi murabahah, pihak bank syariah tidak boleh menaikkan harga selama masa pembiayaan. Sejak itu sengketa merebak. Kemudian Kasus Kedua. sebuah bank syariah (B). secara sepihak mengubah harga jual beli murabahah dengan perubahan angka yang signifikan (ratusan juta rupiah) yang jelas merugikan nasabah. Padahal, dalam syari’ah, perubahan harga ini tidak boleh dilakukan. Perubahan se pihak ini dilakukannya karena nasabah menunda pembayaran. Padahal di bank Islam yang lain yang murni syariah, tidak terjadi perubahan harga, walau ada penundaan pembayaran. Karena perubahan harga bai’ murabahah itu, nasabah merasa keberatan dan mengajukan gugatan .
C. Problem Penyelesaian Kompetensi Penyelesaian Sengketa Perjanjian Syari’ah
Sengketa merupakan bagian gangguan terhadap harmoni kepentingan manusia disebabkan adanya kepentingan yang saling bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Hal tersebut terjadi dalam struktur masyarakat dan agama manapun, Akan tetapi, masyarakat manusia juga memiliki kecenderungan untuk senantiasa berupaya agar sengketa yang terjadi itu tidak berlangsung terus menerus, sebab apabila sengketa yang terjadi tidak diselesaikan, pada gilirannya akan mengganggu keseimbangan tatanan masyarakat itu sendiri. Walaupun tidak berarti bahwa setiap sengketa akan dapat diselesaikan, karena ada juga sengketa-sengketa yang memang tidak mencapai taraf penyelesaian sebagaimana yang diharapkan. Termasuk dalam dunia bisnis telah pula membawa implikasi yang cukup mendasar terhadap pranata maupun lembaga hukum. Salah satu perubahan mendasar di era 2009 an ini adalah penambahan kewenangan PA dalam UU Peradilan Agama yang baru, antara lain bidang ekonomi Syari’ah yang masih memiliki berbagai problematika. Sebab pengadilan sebagai the first and last resort dalam penyelesaian sengketa ternyata masih dipandang oleh sebagian kalangan hanya menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial, belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, menimbulkan antagonisme di antara pihak yang bersengketa, serta banyak terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya. Berdasarkan perkara yang masuk pada yang masuk tahun 2006 tercatat 532 perkara yang diperiksa oleh Mahkamah Agung, dan pada tabel berikut, masih belum diterimanya masalah Ekonomi Syariah dalam kasus sengketa peradilan.

TABEL 1
PERKARA-PERKARA YANG DITERIMA OLEH PENGADILAN AGAMA
PADA TAHUN 2006 PADA TINGKAT PERTAMA DAN BANDING
No Jenis Perkara Pengadilan Agama Tingkat Pertama % Total Tingkat Pertama Tingkat Banding/Pengadilan Tinggi Agama % dari Total Banding
1 Waris 1.311 0,72% 195 12,82%
2 Wasiat 22 0,01% 4 0,26%
3 Hibah 58 0,003% 16 1,05%
4 Waqaf 21 0,01% 4 0,26%
5 Shadaqah 2 0,01% 0 0%
6 P3HP 318 0,18% 0 0%
7 Ekonomi Syariah
0 0% 0 0%
8 Lainnya 432 0,24% 14 0,92%
Jumlah 181.077 100% 1.521 100%
Sumber: Laporan Penelitian Akses dan Kesetaraan Pengadilan Agama, 2007
Selama ini pengadilan agama hanya memiliki kompetensi untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum dalam bidang hukum keluarga seperti masalah perkawinan, sengketa waris/wasiat, wakaf, dan lain-lain. Akan tetapi setelah Undang-Undang Pengadilan Agama Nomor 3 Tahun 2006 diamandemen, kompetensi pengadilan agama menjadi lebih luas. Salah satu meliputi penyelesaian sengketa dalam bidang ekonomi syariah Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengamandemen Undang-undang Peradilan Agama ini tentu saja dimaksudkan untuk mengakomodasi tuntutan kondisi masyarakat yang semakin berkembang pesat. Oleh karena itu, lembaga penyelesaian sengketa juga mengalami evolusi mengikuti tuntutan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks. Disebabkan oleh sifat maupun kualitas sengketa yang terjadi dewasa ini semakin tidak sederhana, dan karakternya pun sangat berbeda-beda dengan karakter sengketa yang muncul pada masa-masa sebelumnya, maka konsekuensinya paradigma penyelesaian sengketa pun mengalami pergeseran. Bahkan penyelesaian sengketa yang ditengarai baru akan muncul di kemudian hari pun telah diupayakan untuk ditetapkan secara pasti melalui kesepakatan kontraktual antara para pihak.
Menyelesaikan sengketa bisnis melalui pengadilan agama sebagai salah satu lembaga peradilan yang memiliki kompetensi absolut untuk menyelesaikan sengketa bisnis berbasis syariah. Kompetensi ini merupakan tambahan atas kompetensi peradilan agama yang secara konvensional telah disandang selama ini. Sebagai konsekuensi ditambahnya kompetensi absolut pengadilan agama, maka kewenangan pengadilan agama setara dengan pengadilan negeri dalam memeriksa sengketa-sengketa bisnis yang diajukan kepadanya. Satu hal yang secara prinsipil membedakan pengadilan agama dengan pengadilan negeri dalam memeriksa sengketa bisnis adalah basis sengketanya, yaitu lembaga ekonomi syariah. Sedangkan apabila sengketa yang timbul itu mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan negeri dalam lingkungan Peradilan Umum . Persoalan tersebut dinilai dari penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf d UU Perbankan Syariah serta penjelasan Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman. Ketiga peraturan ini mengatur penyelesaian sengketa perbankan syariah diselesaikan melalui pengadilan di lingkungan peradilan umum.
Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah menyebutkan secara operasional penyelesaian sengketa yang bisa dipilih oleh para pihak dalam bentuk (1) musyawarah; (2) mediasi perbankan; (3) melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau melaksanakan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang mempunyai kewenangan untuk menangani perkara ekonomi syariah yang di dalamnya termasuk perkara sengketa perbankan syariah adalah Peradilan Agama. Artinya, terdapat dualisme penyelesaian sengketa perbankan syariah, di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. Artinya danya kompetensi peradilan dalam lingkungan peradilan agama dan peradilan umum dalam bidang perbankan syariah selain menunjukan adanya reduksi, juga mengarah pada dualisme kompetensi mengadili oleh dua lembaga litigasi.
Pengadilan negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara, sedangkan wewenang pengadilan agama telah dibatasi Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Institusi ini hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menyangkut perkawinan, warisan, wakaf, hibah, dan sedekah. Pengadilan agama tidak dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara di luar kelima bidang tersebut. Demi kepentingan untuk membentuk lembaga permanen yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata di antara bank-bank syariah dengan para nasabah, sudah sangat mendesak. Apalagi, kehadiran bank-bank syariah dengan segala kegiatannya yang didasarkan atas syariah merupakan sesuatu yang legal di Republik Indonesia ini, atas dasar Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 yang kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang No. 10/1998 tentang Perbankan. Untuk itulah MUI membentuk lembaga arbitrase yang tujuannya untuk menangani sengketa antara nasabah dan bank syariah. Lembaga arbitrase tersebut dikenal dengan Badan Arbitrase Arbitrase Muamalat (BAMUI) berdasarkan SK No Kep-392/MUI/V/1992.
Pada tahun 2003, beberapa bank atau Unit Usaha Syariah (UUS) lahir sehingga BAMUI dirubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) hingga kini. Perubahan tersebut berdasarkan SK MUI No Kep-09/MUI XII/2003 tertanggal 24 Desember 2003. Lembaga arbitrase atau Arbitrase syariah merupakan penyelesaian sengketa secara syariah antara kedua pihak di luar jalur pengadilan untuk mencapai kesepakatan maslahah ketika upaya mufakat tidak tercapai. Arbitrase dilakukan dengan menunjuk dan memberi kuasa kepada badan arbitrase untuk memberi keadilan dan kepatutan berdasarkan syariat Islam dan prosedur hukum yang berlaku. Dasar hukumnya adalah Q.S. Al-Hujara>t: 9, Q.S. Annisa:> 35-36 dan sejumlah hadits riwayat An-Nasa>i dan Musli>m. Putusan arbitrase syariah bersifat final dan mengikat (binding).
Dengan demikian, apabila ada dua pihak yang mengadakan perjanjian dan mereka berselisih pendapat mengenai makna atau maksud dari suatu istilah yang termuat di dalam perjanjian itu misalnya, kedua belah pihak dapat meminta kepada suatu lembaga "arbitrase" untuk memberikan pendapatnya. Pendapat itu bagi mereka yang berselisih, akan diterima sebagai pendapat final.
Kekuatan hukum yang dibuat oleh Basyarnas punya kekuatan mengikat. Setiap salinan putusan dikirimkan ke pengadilan negeri untuk menjadi arsip. Hakim pengadilan negeri tak boleh lagi memeriksa perkara yang sudah diputus Basyarnas. Jika harus ada eksekusi pun Basyarnas bisa meminta bantuan dari pengadilan negeri untuk melakukannya. Keputusan arbitrase tak boleh dibanding. Berbeda bila ke pengadilan negeri karena masih ada proses banding, kasasi, bahkan peninjauan kembali. Bagi perusahaan besar jauh lebih efisien bila menggunakan Basyarnas. Selain tidak terekspose secara publik, penyelesaiannya singkat dan sederhana. Perusahaan besar selama ini lebih tertarik dengan penyelesaian perselisihan lewat arbitrase ketimbang peradilan. Yurisdiksi (Kewenangan) Basyarnas meliputi: (1)menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah/perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa, dan lain- lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada Basyarnas sesuai dengan Peraturan Prosedur Basyarnas; (2) memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan berkenaan dengan suatu perjanjian.
Manfaat Arbitrase yaitu: Pertama, Penyelesaian sengketa dengan mengutamakan prinsip is}lah. Jika tidak berhasil perkara diperiksa dan diputus. Putusan “final dan mengikat” serta mempunyai nilai eksekutorial. Kedua, proses pemeriksaan dengan sederhana dan cepat dan persidangan dilaksanakan secara tertutup untuk umum, sehingga kelemahan/aib para pihak tidak diketahui umum. Ketiga, seluruh proses pemeriksaan hingga putusan harus selesai dalam waktu 6 bulan, sehingga waktunya lebih efisien. Keempat, jika pihak yang kalah tidak dengan sukarela melaksanakan putusan, pihak yang menang tinggal mohon eksekusi ke Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Mohon eksekusi lebih efisien daripada berperkara (dengan gugatan) melalui Pengadilan Negeri yang terhadap putusannya tidak final dan mengikat. Kelima, bagi orang-orang beriman berarti telah konsisten menjadi muslim yang kaafah: Bisnisnya sesuai dengan tuntunan syariat, Akad-akadnya menurut ketentuan akad-syariat, Jika terjadi sengketa diselesaikan secara syariat.
Ada dua asas untuk menentukan kompetensi absolut pengadilan agama, yaitu: Pertama, apabila suatu perkara menyangkut status hukum seorang muslim, dan/atau Kedua, suatu sengketa yang timbul dari suatu perbuatan atau peristiwa hukum yang dilakukan atau terjadi berdasarkan hukum Islam atau berkaitan erat dengan status hukum sebagai muslim. Berdasarkan ketentuan Pasal 49 beserta penjelasannya tersebut, dapat dipahami bahwa subyek hukum dalam sengketa ekonomi syariah meliputi: (1) orang-orang yang beragama Islam; (2) orang-orang yang beragama bukan Islam namun menundukkan diri terhadap hukum Islam; (3) badan hukum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan hukum Islam. Sedangkan ketentuan Pasal 50 beserta penjelasannya menunjukkan bahwa asas personalitas keislaman terkait agama yang dianut oleh pihak yang bersengketa dalam sengketa keperdataan mengenai hak milik dikedepankan dalam menentukan kewenangan absolut peradilan yang menangani sengketa tersebut. Apabila para pihak yang bersengketa beragama Islam maka peradilan agama mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketentuan ini mempunyai relevansi yang erat dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah terkait jaminan kebendaan, semisal mengenai hak tanggungan dan fiducia.
Kehadiran orang yang beragama bukan Islam menjadi subyek hukum dalam perkara ekonomi syariah menunjukkan suatu perkembangan hukum, sehingga kegiatan usaha yang mendasarkan pada prinsip syariah tidak hanya diminati oleh orang-orang Islam saja. Dalam praktiknya, banyak ditemui para nasabah yang menikmati produk maupun jasa perbankan syarian adalah orang-orang yang beragama bukan Islam. Oleh sebab itu, masalah ekonomi syariah itu diserahkan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 kepada Pengadilan Agama dan ditetapkan menjadi kompetensi absolut pengadilan agama telah disesuaikan dengan realitas masa. Jelas sudah bahwa tatkala kegiatan usaha dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah terdapat sengketa maka muara penyelesaian sengketa secara litigasi adalah menjadi kompetensi pengadilan agama. Adapun penyelesaian melalui non-litigasi dapat dilakukan melalui lembaga arbitrase dalam hal ini Basyarnas (Badan Arbitrase Syariah Nasional) dan alternatif penyelesaian sengketa dengan memperhatikan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariah.
Persoalan yang muncul kemudian adalah tatkala Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan kompetensi atau kewenangan kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, menentukan dalam Pasal 55: (1) penyelesaian perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama; (2) dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)pen yelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad; (3) penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Penyelesaian sengketa dalam bisnis syariah bisa terjadi melalui perselisihan pendapat, baik dalam penafsiran maupun dalam pelaksanaan isi perjanjian, kedua pihak akan berusaha menyelesaikannya secara musyawarah menurut Islam. Sungguh pun demikian, tetap saja ada kemungkinan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah. Karenanya diperlukan lembaga untuk menyelesaian sengketa ini.
Di Indonesia terdapat dua lembaga penyelesaian sengketa bisnis syariah yaitu (1) Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas); (2) Peradilan Agama.
Setelah menilai berbagai kajian yang berkenaan dengan kompetensi pengadilan agama dan peran Basyarnas maka kedua kasus yang dikemukakan sebelumnya pada fokus dasar harus menyelesaikannya di lembaga Peradilan Agama, bukan di Pengadilan Umum, agar pengamalan syariah benar-benar komprehensif. Upaya melakukan gugatan kasus lewat Badan Arbitrase Syariah akan diabaikan bank syari’ah sebab jika mau menyeselesaikan masalah ini di Badan Arbitrase Syariah, maka ia harus mengubah kembali harga jual beli kepada harga semula. Karena bank syariah tidak mau, maka Badan Arbitrase Syariah tidak bisa menyelesaikan kasus sengketa tersebut. Hal ini berbeda jika nasabah tersebut mengajukan kasus tersebut ke Pengadilan. Bank syariah bisa dipanggil oleh Pengadilan untuk menyelesaikan kasus tersebut melalui persidangan. Bank Syari’ah tidak bisa menolak dan menyatakan tidak mau membawa perkara itu ke Pengadilan. Dengan demikian Peradilan memiliki daya paksa. Berdasarkan kenyataan ini, maka amandemen ini sangat strategis dan sangat penting bagi kepastian hukum di bidang ekonomi syariah di Indonesia.
Amandemen UU No 7/1989 ini juga membawa implikasi besar bagi seluruh redaksi akad di lembaga perbankan dan keuangan syari’ah saat ini. Selama ini dalam setiap akad di lembaga ekonomi syariah tercantum sebuah klausul yang berbunyi, “ Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.Dengan amandemen ini maka klasul tersebut dihapuskan dan seluruh format transaksi di bank dan lembaga keuangan syariah harus diubah. Demikian juga terhadap fatwa DSN MUI, karena dalam fatwa DSN MUI disebutkan, bahwa penyelesaian perselisihan diselesaikan oleh Badan Arbitrase Syari’ah. Maka dengan amandemen ini, bunyi redaksi DSN MUI yang menyebutkan perananBadan Arbitrase dinyatakan tidak berlaku lagi. Walaupun Keberadaan Badan Arbitrase masih dibutuhkan, apabila para pihak sepakat untuk menyelesaikan kasusnya secara bersama-sama di Badan Arbitrase Syari’ah. Ada pandangan jika terjadi sengketa transaksi efek berbasis syariah, maka dilakukan lewat Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAMUI). Hal tersebut tidak bisa sebab kompetensi pengadilan sudah jelas dimana jika ada sengketa dalam ekonomi syariah maka harus diselesaikan di Pengadilan Agama . Sengketa ini tak kunjung selesai karena pihak bank tidak membawa kasus ini ke lembaga abitrase syariah. Padahal, kasus sengketa syariah baru bisa dibawa ke lembaga abitrase kalau kedua pihak menyetujui.

D. Simpulan Awal
UU N0. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah direvisi dengan UU No. 3 Tahun 2006. Salah satu hal mendasar dari revisi tersebut adalah tentang kewenangan Perangadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa bidang ekonomi syari’ah yang selama ini menjadi kewenangan Pengadilan Negeri meskipun ini sifatnya opsi bagi Orang Islam dalam menyelesaikan sengketa keperdataan diantara orang Islam. Dan selama ini sebelum disahkan UU Peradilan Agama yang baru yakni UU No. 3 Tahun 2006 DSN-MUI dalam fatwa-fatwa bidang ekonomi syaria’ah selalu menyatakan apabila ada sengketa penyelesaiannya dibawa ke Badan Arbitrase Syariah Nasional atau Basyarnas (sebelumnya adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia atau BAMUI). Masalah muncul ketika pasca UU Peradilan Agama yang baru disahkan, MUI dalam fatwanya tetap mencantumkan kewenangan lembaga Arbitrase Basyarnas untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam bidang ekonomi syari’ah, sehingga terjadi dualisme pengaturan bahkan bertentangan dengan ketentuan UU No3 Tahun 2006. Dengan lahirnya perubahan UU No. 7 Tahun 1989 dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, maka kewenangan absolut sengketa ekonomi Islam beralih ke Pengadilan Agama. Dalam penjelasan lebih lanjut bahwa penyelesaian sengketa ini tidak hanya pada wilayah perbankan syari`ah saja, akan tetapi juga pada bidang ekonomi syari `ah.. Menurut penjelasan Pasal 49 huruf i, bahwa yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, meliputi 11 bidang yaitu: bank syari'ah, lembaga keuangan mikro syari'ah, asuransi syari'ah, reasuransi syari'ah, reksa dana syari'ah, obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah, sekuritas syari'ah, pembiayaan syari'ah, pegadaian syari'ah, dana pensiun lembaga keuangan syari'ah dan bisnis syari'ah.
Dari perubahan pasal 49 UU N0. 3 Tahun 2006 beserta penjelasannya tersebut dapat dilihat adanya harapan ke depan akan terwujudnya tertib hukum perbankan syari `ah terutama yang berhubungan dengan penerapan hukum Islam dalam transaksinya dengan nasabahnya maupun antar sesama bank syari `ah ataupun bank konvensional yang menyangkut perkara ekonomi syari `ah yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama. Kekuatan Peradilan Agama yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syari`ah adalah (1) adanya SDM yang sudah memahami permasalahan syari `ah; (2) adanya kewenangan absolut; (3) mayoritas masyarakat Indonesia tentang kesadaran hukum Islam. Akan tetapi kelemahannya adalah (1) pelaksanaan dalam penyelesaian sengketa dalam beracara masih menggunakan sistem dualisme hukum karena pada satu sisi hukum acara yang dipakai adalah hukum acara perdata barat; (2) masih barunya lembaga Basyarnas yang mengkibatkan kurang pengalaman dalam proses penyelesaian sengketa yang ada; (3) adanya kekhawatiran akibat keraguan pelaku LKS terhadap kemampuan dari Pengadilan Agama memberikan rasa keadilan. Disamping itu juga diharapkan adanya regulasi perubahan dari UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. hal ini penting sebagai penyeimbang dari adanya UU No. 3 Tahun 2004 sebagai perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Perubahan regulasi tersebut penting karena adanya dualisme kewenangan absolut dalam sengketa ekonomi Islam dan konvensional. Akan tetapi, selama perundangan yang baru belum bisa dipakai dan apabila UU No. 30 Tahun 1999 tidak bisa mengakomodir maka dalam proses acara penyelesaian sengketanya. Maka dapat diacu dasar hukumnya adalah dengan mengacu pada RV ataupun dari kebiasaan dari hukum Islam. Akan tetapi, secara prinsip konsep arbitrase ini dapat diketahui juga dalam sistem hukum Islam dalam proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Pasca UU No. 3 Tahun 2006 disyahkan, muncul 4 (empat) buah fatwa MUI-DSN yang dikeluarkan, yaitu (1) fatwa tentang mudharabah musytarakah; (2) fatwa wakalah bi ujrah; (3) fatwa tentang tabarru` pada asuransi syari `ah; (4) fatwa tentang mudharabah musytarakah pada Asuransi Syari `ah. Kalau dkaji lebih jauh bahwa dalam klausula penutup fatwa tersebut disebutkan apabila terjadi perselisihan, maka diselesaikan melalui badan Basyarnas setelah terjadi kesepakatan para pihak. Hal ini berarti bahwa lembaga Basyarnas eksistensinya adalah rangkaian pertama dalam penyelesaian sengketa. Hal ini dipertimbangkan karena kebiasaan dari proses penyelesaian lewat pengadilan memerlukan waktu yang banyak dan biaya yang tidak sedikit. Sarana untuk menyelesaikan persengketaan pada hakekatnya dapat dibagi dua bentuk yaitu bentuk litigasi yaitu penyelesaian sengketa melalui badan peradilan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan dalam masyarakat. Di Indonesia sesuai ketentuan UU No.4 tahun 2005 dikenal adanya empat lingkungan peradilan yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara. Bentuk alternative dispute resolution ( ADR ) dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ( APS ). Bentuk lembaga ini adalah partikulir , ia tidak dibentuk oleh pemerintah tetapi oleh kebutuhan masyarakat. Mengenai lembaga ini telah ditaur dalam UU No.30 th.1999 tentang Arbitrase dan APS. Di Indonesia ada dua badan arbitrase yang dibentuk secara permanent yaitu BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia ) dibentuk oleh Kadin tahun 1997 dan BASYARNAS (Badan Arbitrase Syari’ah Nasional) dibentuk oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) tahun 2003 semula bernama BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) dibentuk tahun 1993.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Al-Hadits
Undang-Undang No 3 Tahun 2006
Ariyanto, Tak Sekadar Menangani Kawin Cerai (Kolom Hukum), Trust Majalah Berita ekonomi dan Bisnis, Edisi 27 Tahun IV, 17-23 April 2006.
Arto, A. Mukti, 2004, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Djamil Fathurrahman Djamil, “Prinsip-prinsip Ekonomi Islam”, dalam Mahkamah Agung RI, Kapita Selekta Perbankan Syariah
Hasbi, 2008, “Telaah Kritis Atas Kompetensi Peradilan Agama Dalam Perkara Ekonomi Syariah Menurut UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 21 Tahun 2008”, Disertasi (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah.
Kamil, Ahmad dan M Fauzan, 2007, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana.
Karim, Adiwarman, 2003, Ekonomi Mikro Islam, edisi ke-2, Jakarta: IIIT Indonesia
Khalil, Jafril, Agustus 2005, “Prinsip Syariah dalam Perbankan,” Jurnal Hukum Bisnis
Margono, Suyud. 2000. ADR dan Arbitrase (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rachmainy dan Anita Afriana, 2007, Paradigma baru perluasan kompetensi absolut peradilan agama berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006; dalam Jurnal Penegakan Hukum Vol. 4 No. 1 Januari 2007
Rahadjo, Satjipto, 2000, “Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Situasi Global”; dalam Problema Globalisasi-Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi, dan Agama. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Suhartono, Prospek Legislasi Fikih Muamalah Dalam Sistem Hukum Nasional, www.Badilag.net.
Sulistiyono, Adi, 2002, Mengembangkan Paradigma Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi dalam Rangka Pendayagunaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis/Hak Kekayaan Intelektual; Disertasi, Semarang: PDIH
Sumitro, Warkum. 2004. Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia), Jakarta: Raja GrafindoPersada.
Suparman, Eman, 2010, "Perluasan Kompetensi Absolut Peradilan Agama Dalam Memeriksa Dan Memutus Sengketa Bisnis Menurut Prinsip Syariah” Makalah disampaikan pada acara Sharia Economic Research Day Diselenggarakan oleh Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Pusat, Jakarta: Universitas YARSI, 10 Juni 2010
Syafe’i, Rachmat. “Tinjauan Yuridis Terhadap Perbankan Syariah”, http://www.pikiranrakyat. com/cetak/2005/0305/21/0802.htm
Usman, Rachmadi. 2002. Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
http://www.hukumonline.com/.

3 komentar:

  1. salam,makalah bapak sangat berguna saya.saya copi yaaa..:] pi motivasi bapak lebih sangat berguna habis membaca motivasi atau profil diri bapak terbesit dipikiran saya.saya ingin lebih maju walaupun bila dibanding teman-teman saya agak tertinggal.semoga saya bisa mengejar mereka, aminnnnnnnn :}

    BalasHapus
  2. salam...
    izin kopy ya pak..
    makasih

    BalasHapus
  3. assalamualaikum pak mohon maaf ada ndak artikel terkait dengan hukum perjanjian islam dalam peradilan

    BalasHapus