Sabtu, 05 Februari 2011

AQD NON RIBAWI PADA CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILTY: KONSEP, DAN TAWARAN

Oleh
Heri Junaidi

A. Pendahuluan
Makalah ini menyoroti program pemerintah Indonesia dalam menguatkan konsep keadilan sosial pada usaha mikro dan usaha kecil melalui bantuan modal usaha lewat berbagai program Corporate Social Responsibilty oleh Badan-Badan Usaha Negara (BUMN) dengan sistem bunga rendah. Hal ini penting untuk digali terutama untuk menjelaskan eksistensi aqd non ribawi yang menjadi icon penting pada perkembangan Islamic finance di Indonesia yang sudah merambah di zona perbankan maupun non-perbankan. Penting untuk memberikan penilaian bagaimana nilai-nilai fiqh muamalah bisa ikut andil dalam aktifitas Corporate Social Responsibilty yang mayoritas dilakukan oleh komunitas muslim di Indonesia dalam memenuhi kebutuhan dasar melalui aktifitas bisnis.
Corporate Social Responsibilty atau disingkat dalam makalah ini dengan CSR merupakan bentuk komitmen pemerintah dengan perusahaan besar untuk membangun kualitas kehidupan yang lebih baik bersama zona ekonomi masyarakat dalam wilayah usaha mikro dan kecil disekeliling dimana perusahaan tersebut berada. Peran CSR semakin penting dalam mendorong semakin luasnya tanggung jawab sosial korporat bagi terciptanya keseimbangan pembangunan baik ekonomi, sosial maupun lingkungan Penggalian data dalam proses penyusunan disertasi penelitian untuk ekonomi kerakyatan ditemukan program yang terlihat berpihak kepada kalangan bawah (grass root) namun masih menyisakan persoalan yang berhubungan dengan proses kemitraan terutama dalam transaksi dan proses pengembalian bantuan.
Satu sisi implementasi masih ada perusahaan yang mempersepsi CSR sebagai bagian dari biaya atau tindakan reaktif untuk mengantisipasi penolakan masyarakat dan lingkungan. Beberapa perusahaan memang mampu mengangkat status CSR ke tingkat yang lebih tinggi dengan menjadikannya sebagai bagian dari upaya brand building dan peningkatan corporate image, namun upaya-upaya CSR tersebut masih jarang yang dijadikan sebagai bagian dari perencanaan strategis perusahaan. Masyarakat kini telah semakin well informed, dan kritis serta mampu melakukan filterisasi terhadap dunia usaha yangg tengah berkembang. Hal ini menuntut para pengusaha untuk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggung-jawab. Pengusaha tidak hanya dituntut untuk memperoleh capital gain atau profit dari kegiatan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi baik materiil maupun spirituil kepada masyarakat dan pemerintah sejalan dengan aturan yang berlaku.
Asumsi yang muncul akibat konsep dan regulasi masih berpegang pada pembangunan ekonomi semata yang berdampak pada pola hubungan kemitraan untung-rugi bukan kebersamaan yang berkeadilan sosial sebagaimana dibangun dalam konstitusi. Disamping itu, walau pendekatan pragmatis, kelemahan konsep karena nilai-nilai ribawi masih menjadi bagian penting dalam membangun kemitraan pada wilayah corporate social responsibility. Pada sisi yang sama, Islam mengenal istilah tsawa>bit wa mutaghayyira>t (principle and variabels). Dalam sektor ekonomi muncul dalam larangan riba, atau sistem bagi hasil. Untuk variabel adalah instrument-instrument untuk melakukan prinsip tersebut, seperti penerapan asas mud}o>rabah, atau penempatan bai as-sala>m dalam pembangunan suatu proyek
B. Penelusuran Corporate Social Responsibilty
Berbagai literatur banyak ditemukan kajian yang berkenaan tanggung jawab sosial korporasi (Corporate Social Responsibility) yang dialur lewat kode Hammurabi (1700- an SM) berisi 282 hukum yang salah satunya memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan kematian bagi pelanggannya. Dalam kode Hammurabi disebutkan bahwa hukuman mati diberikan kepada orang-¬orang yang menyalahgunakan ijin penjualan minuman, pelayanan yang buruk dan melakukan pembangunan gedung di bawah standar sehingga menyebabkan kematian orang lain, termasuk melakukan kecurangan dalam melakukan transaksi yang menghancurkan satu usaha perorang maupun kelompok, terutama dari usaha kalangan bawah (grass root). Perkembangan selanjutnya terutama masa tahun 1940-an muncul kemudian apa yang dikenal dengan pengembangan masyarakat (community development) sebagai akar istilah mass education (pendidikan massa), dan model pengembangan masyarakat (community development) yang dikaitkan dengan disiplin ilmu pendidikan (education).
Di Amerika Serikat pengembangan masyarakat juga berakar dari disiplin pendidikan di tingkat pedesaan (rural extension program), sedangkan di perkotaan mereka mengembangkan organisasi komunitas (community organization) yang bersumber dari ilmu kesejahteraan Sosial. Beberapa alternatif pendekatan yang pernah terjadi di Amerika Serikat terkait dengan pengembangan masyarakat ini, antara lain: (1) pendekatan komunitas, (2) pendekatan pemecahan masalah, (3) pendekatan eksperimental, (4) pendekatan konflik kekuatan, (5) pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia, serta (6) perbaikan lingkungan komunitas masyarakat perkotaan.
Pendekatan komunitas merupakan pendekatan yang paling sering dipergunakan dalam pengembangan masyarakat. Pendekatan ini mempunyai tiga ciri utama (1) basis partisipasi masyarakat yang luas, (2) fokus pada kebutuhan sebagian besar warga komunitas, dan (3) bersifat holistik. Pendekatan ini menaruh perhatian pada kepentingan hampir semua warga. Keunggulan pendekatan ini adalah adanya partisipasi yang tinggi dari warga dan pihak terkait dalam pengambilan keputusan (perencanaan) dan pelaksanaan, serta dalam evaluasi dan menikmati hasil kegiatan bersama warga komunitas.
Tahun 1950-an literatur-literatur awal sudah mulai membahas CSR sebagai Social Responsibility. Howard R. Bowen dalam bukunya: "Social Responsibility of The Businessman" yang dikutip dari Morrell Heald memberikan definisi awal dari CSR sebagai: "... obligation of businessman to pursue those policies, to make those decision or to follow those line of action wich are desirable in term of the objectives and values of our society." Selanjutnya pada tahun 1960-an banyak usaha dilakukan untuk memberikan formalisasi definisi CSR yaitu hubungan antara CSR dengan kekuatan bisnis. Davis mengutarakan menyatakan bahwa tanggung jawab sosial pengusaha sama dengan kedudukan sosial yang mereka miliki (social responsibilities of businessmen need to be commensurate with their social power). Di era tersebut kata corporate mulai dicantumkan setelah ditemukan adanya hubungan yang kuat antara tanggung jawab sosiaL dengan korporasi.
Tahun 1963, Joseph W. McGuire seperti dikutip dari Judith Hennigfeld memperkenaLkan istilah corporate citizenship. McGuire menyatakan bahwa: "The idea of social responsibilities supposes that the corporation has not only economic and legal obligations but also certain responsibilities to society which extend beyond these obligations". McGuire kemudian menjelaskan kata "beyond" dengan menyatakan bahwa korporasi harus memperhatikan masalah politik, kesejahteraan masyarakat, pendidikan, "kebahagiaan" karyawan dan seluruh permasalahan sosial kemasyarakatan lainnya, termasuk bagaimana membangun kemitraan lewat pemberdayaan usaha yang pro-rakyat. Oleh karena itu korporasi harus bertindak "baik," sebagai mana warga negara (citizen) yang baik. Tahun 1971, Committee for Economic Development (CED) menerbitkan Social Responsibilities of Business Corporations yang dapat dianggap sebagai code of conduct bisnis dengan asumsi dasar bahwa kegiatan usaha memiliki tujuan dasar untuk memberikan pelayanan yang konstruktif untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat dan memberikan kemudahan-kemudahan yang memungkinkan seseorang melakukan aktifitas usaha.
CED merumuskan CSR dengan menggambarkannya dalam lingkaran konsentris. Lingkaran dalam merupakan tanggungjawab dasar dari korporasi untuk penerapan kebijakan yang efektif atas pertimbangan ekonomi (profit dan pertumbuhan); Lingkaran tengah menggambarkan tanggung jawab korporasi untuk Lebih sensitif terhadap nilai-nilai dan prioritas sosial yang berlaku daLam menentukan kebijakan mana yang akan diambil; Lingkaran luar menggambarkan tanggung jawab yang mungkin akan muncul seiring dengan meningkatnya peran serta korporasi dalam menjaga lingkungan dan masyarakat.
Tahun 1970-an juga ditandai dengan pengembangan definisi CSR. Dalam artikeL yang berjuduL "Dimensions of Corporate Social Performance", S. Prakash Sethi memberikan penjelasan atas perilaku korporasi yang dikenaL dengan social obligation, sociaL responsibility, dan social responsiveness. Menurut Sethi, social obligation adaLah perilaku korporasi yang didorong oleh kepentingan pasar dan pertimbangan ¬pertimbangan hukum. Dalam hal ini social obligatioan hanya menekankan pada aspek ekonomi dan hukum saja. Social responsibility merupakan perilaku korporasi yang tidak hanya menekankan pada aspek ekonomi dan hukum saja tetapi menyelaraskan social obligation dengan norma, nilai dan harapan kinerja yang dimiliki oleh lingkungan sosial. Social responsivenes merupakan perilaku korporasi yang secara responsif dapat mengadaptasi kepentingan sosial masyarakat, tindakan antisipasi dan preventif.
Tahun 1980-an perkembangan CSR ditandai dengan usaha-usaha yang lebih terarah dalam mengartikulasikan secara tepat apa sebenarnya corporate responsibility. Drucker berpendapat: "But the proper ,social responsibility' of business is to tame the dragon, that is to turn a social problem into economic opportunity and economic benefit, into productive capacity, into human competence, into well-paid jobs, and into wealth". Pada era tersebut, Drucker telah melangkah lebih lanjut dengan memberikan ide baru agar korporasi dapat mengelola aktivitas CSR yang dilakukannya dengan sedemikian rupa sehingga tetap akan menjadi peluang bisnis yang menguntungkan. Tahun 1987, Persatuan Bangsa-Bangsa melalui World Commission on Environment and Development (WECD) menerbitkan laporan yang berjuduL "Our Common Future" menjadikan isu-isu lingkungan sebagai agenda politik yang pada akhirnya bertujuan mendorong pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih sensitif pada isu-isu kreatifitas sosial. CSR menawarkan konsep pembangunan yang lebih kepada “doing with the community” dibandingkan dengan “doing for the community”. Metode kerja doing for, akan menjadikan masyarakat menjadi pasif, kurang kreatif dan tidak berdaya, bahkan mendidik masyarakat untuk bergantung pada bantuan pemerintah atau organisasi-organisasi sukarela pemberi bantuan. Sebaliknya, metode kerja doing with, merangsang masyarakat menjadi aktif dan dinamis serta mampu mengidentifikasi mana kebutuhan yang sifatnya – real needs, felt needs dan expected need . Metode kerja doing with, sangat sesuai dengan gagasan besar KI Hajar Dewantara tentang kepemimpinan pendidikan di Indonesia – ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani – yang berfokus akan perlunya kemandirian yang partisipatif di dalam proses pembangunan. 6
Perkembangan program CSR di Indonesia dimulai dari sejarah perkembangan PKBL. Pembinaan usaha kecil oleh BUMN dilaksanakan sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang tata cara pembinaan dan pengawasan Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero). Pada saat itu, biaya pembinaan usaha kecil dibebankan sebagai biaya perusahaan. Dengan terbitnya keputusan Menteri Keuangan No.:1232/KMK.013/1989 tanggaL 11 Nopember 1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui Badan Usaha MiLik Negara, dana pembinaan disediakan dari penyisihan sebagian Laba sebesar 1%-5% dari Laba seteLah pajak. Nama program saat itu Lebih dikenaL dengan Program Pegelkop.
Pada Tahun 1994, nama program diubah menjadi Pembinaan Usaha KeciL dan Koperasi (Program PUKK) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.:316/KMK.016/1994 tanggaL 27 Juni 1994 tentang Pedoman Pembinaan Usaha KeciLn dan Koperasi meLaLui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba Badan Usaha MiLik Negara. Memperhatikan perkembangann ekonomi dan kebutuhan masyarakat, pedoman pembinaan usaha keciL tersebut beberapa kaLi mengaLami penyesuaian, yaitu melalui Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN/KepaLa Badan Pembina BUMN No.: Kep-216/M¬PBUMN/1999 tanggaL 28 September 1999 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN, Keputusan Menteri BUMN No.: Kep-236/MBU/2003 tanggaL 17 Juni 2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha KeciL dan Program Bina Lingkungan, dan terakhir melalui Peraturan Menteri Negara BUMN No.: Per¬05/MBU/2007 tanggaL 27 ApriL 2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Pembinaan usaha keciL yang dilakukan BUMN ini tidak terLepas dari beberapa peraturan perundang-undangan Lainnya, sebagai berikut.
Pertama, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil. Penjelasan Pasal 16; Lembaga pembiayaan menyediakan dukungan modal untuk pembinaan dan pengembangan usaha kecil antara Lain meliputi skim modal awal, modal bergulir, kredit usaha kecil, kredit program dan kredit modal kerja usaha kecil, kredit kemitraan, modaL ventura, dana dari bagian laba Badan Usaha Milik Negara, anjak piutang dan kredit lainnya; Kedua, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Pasal 2: Salah satu tujuan pendirian BUMN adalah turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Pasal 88 ayat (1): BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. Ketiga, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah .
Selanjutnya UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang berkaitan dengan CSR diantaranya menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar Lokasi kegiatan usaha penanaman modal, menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan Lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat (penjeLasan pasaL 15 Huruf b). Bunyi Pasal 21 UU No. 20 Tahun 2008:..Badan Usaha Milik Negara dapat menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya. PKBL merupakan Program Pembinaan Usaha KeciL dan pemberdayaan kondisi lingkungan oLeh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. JumLah penyisihan laba untuk pendanaan program maksimaL sebesar 2% (dua persen) dari laba bersih untuk Program Kemitraan dan maksimal 2% (dua persen) dari laba bersih untuk Program Bina Lingkungan (CSR). Ketentuan UU inilah yang dijadikan dasar bagi penataan tentang pemanfaatan CSR di Indonesia.
Dari berbagai kajian Corporate Social Responsibility (CSR) tersebut memperlihatkan Tanggung jawab sosial sektor dunia usaha merupakan wujud kesadaran perusahaan sebagai upaya meningkatkan hubungannya dengan masyarakat dan lingkungannya. Oleh karena itu keduanya bukanlah dua entitas yang harus saling menegaskan atau dua entitas yang saling mengeksploitasi. Di tengah situasi masyarakat Indonesia yang pada umumnya masih jauh dari sejahtera, maka perusahaan tidak boleh hanya memikirkan keuntungan finansial mereka semata. Perusahaan dituntut untuk memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap kesejahteraan publik.

C. Aqd Non Ribawi: Penegasan Pemahaman
Al-‘aqdu dalam etimologi dari bentuk masdar dari ‘aqada, ya’qidu, ‘aqdan yang berarti “menyimpul, membuhul dan mengikat, atau dengan arti mengikat janji. Menurut terminologi/isthilah:
ارتباط ايجاب بقبول على وجه مشروع أثره فى محله
Hubungan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh/akibat hukum pada obyek akadnya. Beberapa istilah yang berkaitan dengan janji atau perjanjian, yaitu kata wa’ad (al-wa’du), akad (al-`aqdu), dan `ahd (al-`ahdu), janji, perjanjian, perikatan, persetujuan. Secara umum kata-kata tersebut sering dianggap sama atau mempunyai pengertian yang serupa. Tetapi dalam kajian hukum istilah tersebut memiliki arti dan implikasi yang berbeda. Begitu juga kata wa’ad, ‘aqd dan ‘ahd secara umum bisa dikatakan sama tetapi dari penggunaan praktis hukum memiliki maksud dan pengaruh yang berbeda. Namun terdapat pandangan dari sebagian ahli hukum Islam yang menilai bahwa janji (wa’ad) ini tidak hanya mengikat secara moral tetapi juga secara hukum apabila dikaitkan dengan suatu sebab, baik sebab itu disebutkan dalam pernyataan janji atau tidak disebutkan (QS. Al-Shaff [60]: 2-3) dan Hadis tentang Tanda orang munafik, yang salah satunya apabila berjanji dia mengingkari. Sementara Ketetapan para ahli hukum Islam dalam Asosiasi Hukum Islam (Majma al-Fiqh al-Isla>mi) dalam Muktamar ke-5 yang diselenggarakan di Kuwait pada tanggal 10-15 Desember 1988, yang menyatakan bahwa wa’ad memiliki implikasi hukum dan karenanya mengikat secara hukum (mulzamun qad}a’an).
Dalam pasal 20 Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dirumuskan bahwa akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. Pada pasal 22 disebutkan rukun akad terdiri atas; pihak yang melakukan akad, objek akad, tujuan pokok akad, dan kesepakatan. Pihak yang berakad disebut juga subjek hukum. Dalam pasal 1 angka 2 subjek hukum adalah orang perorangan, persekutuan atau badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum yang memiliki kecakapan hukum untuk mendukung hak dan kewajiban. Salah satu bentuk akad yang sesuai dengan investasi (ististmar) harta adalah akad mud{a>rabah berdasarkan lughat penduduk Iraq yaitu kerja sama antara pemilik modal dengan pengelola modal dalam kerangka hukum dan ketentuan syari’at Islam.
Mud}a>rabah masdar dari fi’il ruba>’i “d}a>raba”, tsulatsinya adalah “d}araba” artinya memukul. Selain itu, dharaba dalam etimologi mazahib: Pertama, Hanabilah menyebutkan dengan Memberikan harta untuk diperdagangkan kepada orang lain dan keuntungan (dibagi) pada keduanya; Kedua, Hanafiah dengan Akad kerja sama untuk mencari keuntungan dimana harta dari pemiliknya dan kerja dari pihak pengusaha. Ketiga, Malikiyah mengartikan pemodal memberikan uang dalam jumlah tertentu dan di ketahui kepada pedagang (pemberian) bagian dari keuntungan (yang diperoleh); Keempat, Syafiiyah memahami Seseorang memberikan harta kepada pekerja untuk diperdagangkan sedangkan keuntungan menjadi milik bersama . Dengan demikian maka Mudharabah (Profit and Loss Sharing System) adalah suatu sistem usaha berbagi atas laba dan rugi, di mana pihak-pihak yang melakukan investasi bersama memberikan modal, tenaga kerja dan manajemen pada kesepakatan kontrak untuk usaha patungan dengan persentase nisbah yang ditentukan diawal kontrak.11
Konsekuensi logis dari pelaksanaan mudharabah ada pada tanggungan kerugian. Kerugian sebagai resiko usaha (dalam bentuk materi) ditanggung oleh pemodal kecuali kerugian itu karena kealpaan pengusaha. Dapat dipahami bahwa pengusaha secara tidak langsung juga mengalami kerugian dari segi kerja dan waktu. Tentu saja disini dituntut kredibilitas dan profesionalitas usaha. Untuk mengaktualkan, mudharabah secara teknis dapat didefinisikan bahwa mudharabah adalah akad kerja sama usaha di bidang perdagangan, pertanian, industri, dan pelayanan jasa antara dua belah pihak dimana pihak pertama (sahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan usaha dibagi menurut kesempatan yang dituangkan dalam kontrak. Konsekuensi kerugian ditanggung oleh pihak modal selama bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian. Berdasarkan ijma,’ para ulama juga telah membolehkan mudharabah. bahkan ada juga sebagian ulama yang membolehkan berdasarkan qiyas kepada al-Musaqah.
Beberapa dalil tentang mudharabah telah menunjukan bahwa praktek ekonomi sudah berlangsung sejak awal Islam bahkan sebelum Islam (pada masa jahiliyah) cikal bakal bentuk transaksi ini sudah ada. Contoh: Nabi Muhammad sebelum Islam sudah menciptakan semacam korporasi dengan Khadijah di bidang perdagangan dengan cara mudharabah. Khadijah sebagai shahib al-mal dan Rasul sebagai mudharib. Selain itu, dalam adat kebiasaan orang jahiliyah pun bentuk usaha perdagangan seperti ini sudah berlangsung. Mengingat usaha ini sangat digemari dan ternyata terbebas dari kejahatan pada masa jahiliyah dan juga memberikan insentif yang proporsional di bidang ekonomi, maka Islam melegitimasi praktek tersebut. Keuntungan adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Kejelasan jumlah keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha merupakan salah satu prasyarat dari keuntungan. Karena, keuntungan adalah tujuan akhir mudharabah. Keuntungan yang tidak jelas berimplikasi pada pada kerusakan (fasad) mudharabah berarti syarat batal. Namun meskipun syarat keuntungan batal, akad tetap sah. Pembagian keuntungan bagi masing-masing pihak pada mudharabah ditetapkan melalui perjanjian bersama dengan persentase. Jadi, tidak ada jumlah pasti dari keuntungan yang harus di terima pada perjanjian mudharabah dan tidak selayaknya bagi salah satu pihak diperkenankan mengambil seluruh keuntungan tanpa membagi pada pihak yang lain.
Proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada waktu berkontrak, dan proporsi tersebut harus dari keuntungan. Misalnya 60% dari keuntungan untuk pemodal dan 40% dari keuntungan untuk pengelola. Tidak dibenarkan syarat dengan menentukan bagian mudharib dengan jumlah tertentu karena porsi masing-masing pihak tidak jelas. Ketidakjelasan porsi masing-¬masing pihak dapat merusak mudharabah. Seperti: pemilik modal menentukan bahwa porsi mudharib adalah seratus dinar atau lebih dan sisanya diambil oleh shahib al-mal. Kalau jangka waktu akad mudharabah relatif lama ini berlaku pada mudharabah mustamirrah seperti mudharabah untuk jangka panjang, maka nisbah keuntungan disepakati untuk ditinjau dari waktu ke waktu. Secara teknis, tinjauan keuntungan dapat dilihat pada laporan periodik keuangan. Dari kajian tersebut memperlihatkan bahwa nilai keadilan yang dibangun dalam usaha terlihat jelas dan hal tersebut tidak dapat lepas dari konsep aqd
Aqd yang diisyaratkan dalam fiqh muamalah adalah aqd yang tidak mengandung unsur riba dan hubungannya dengan bunga. Secara umum problematika persoalan riba hingga sekarang masih menjadi perdebatan yang tidak pernah terselesaikan. Dalam perkembangannya di Indonesia didapatkan perbedaan antara kebolehan aqd ribwi dalam bentuk bunga dan yang tidak membolehkan. Pertama, Kelompok yang membolehkan bunga. Mereka yang membolehkan bunga bank berpijak pada (a) teori abstinence, yaitu bahwa kreditor menahan diri, atau menangguhkan keinginan mamanfaatkan uangnya sendiri semata-mata untuk memenuhi keinginan orang lain. ia meminjamkan modal yang semestinya dapat mendaangkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Jika peminjam menggunakan uang untuk memenuhi keinginan pribadi, ia dianggap wajib membayar sewa atas uang yang dipinjamkannya. Sama halnya ia membayar sewa terhadap sebuah rumah,perabotan, maupun kendaraan; (b) bunga sebagai imbalan sewa, artinya kelompok ini berpendapat bahwa peminjaman uang sama dengan seperti mereka menyewa rumah, tanah dsbnya; (c) faktor produktif dan konsumtif sebagai pembolehan bunga; (d) opportunity cost, didasarkan pada alasan (a) diatas dengan memberikan satu terminologi bahwa waktu mempunyai harga yang meingkat seiring dengan berjalannya waktu. Sehingga para penganut teori ini menganggap bahwa kreditor berhak menikmati keuntungan terkait langsung dengan besar kecilnya waktu; (e) teori kemutlakan produktivitas modal, artinya disini fungsi modal dalam produksi sangatlah penting. Modal dianggap mempunyai daya untuk menghasilkan barang lebih banyak daripada yang dapat dihasilkan tanpa modal itu. Dengan demikian mereka yang memberikan modal layak mendapatkan imbalan bunga; (f) teori nilai uang pada masa mendatang lebih rendah dibanding masa sekarang. Melalui teori ini pemberi pinjaman manganggap bunga sebagai agio (selisih nilai) yang diperoleh dari barang-barang pada waktu sekarang terhadap perubahan dan penukaran barang di waktu yang akan datang. Dengan demikian, modal yang dipinjamkan kepada seseorang sekarang lebih bernilai dibanding uang yang akan dikembalikan beberapa tahun kemudian. Bunga merupakan nilai lebih yang ditambahkan pada modal yang dipinjamkan agar nilai pembayarannya sama dengan nilai modal pinjaman semula; (g) inflasi atau dalam istilah lain decreasing purchasing power of money (Penurunan daya beli uang). Oleh karena itu pengambil bunga uang sangatlah logis sebagai kompensasi penurunan daya beli uang selama dipinjamkan.
Kedua, Kelompok yang melarang bunga. Mereka yang berkeyakinan untuk mengharamkan riba disebabkan, (a) bunga menumbuhkan sikap egois, bakhil dan berwawasan sempit, cenderung bersikap tidak mengenal belas kasih. Maududi memberikan analisa psikologis, bahwa praktek pembungaan uang menjadikan seorang malas untuk menginvestasikan dananya dalam sektor usaha; (b) bunga adalah bagian dari hidup ribawi; (c) secara sosial, institusi bunga merusak semangat berkhidmat kepada masyarakat, menghancukan solidaritas dan kepentingan yang akan membawa kepada perpecahan; (d) bunga membawa kepada kezaliman ekonomi, dan merendahkan standar kehidupan masyarakat; (e) bunga menimbulkan kecemasan bagi individu yang malah menghancurkan efesiensi kerja mereka. Sebab, setiap hari dia selalu berpikir pada suku bunga pinjamannya; (f) dengan bunga menimbulkan monopoli sumber dana. Usaha mikro dan usaha kecil yang ingin berpacu dalam tingkat produktifitas usaha mereka sering terhambat karena penguasaan modal oleh para kapitalis; (g) bunga yang dibebankan melalui pinjaman pemerintah, sesungguhnya merupakan manipestasi dari pemberatan hutang kepada masyarakat luas. Seperti diketahui bersama, bahwa hutang Indonesia tidak pernah bisa ditutupi setiap tahunnya. Pembayaran yang dilakukan selama ini hanya terpaut pada pembayaran bunga an sich.
Sejalan dengan larangan bunga tersebut, al-Razi memberikan alasan mengapa bunga dilarang: Pertama, transaksi yang melibatkan bunga sama halnya dengan merampas harta orang lain. karena jenis transaksi dengan menghalalkan bunga mengakibatkan peminjam berada dalam tekanan eksploitasi. Imam al-Razi menentang pernyataan bahwa kelebihan dari pinjaman dalam bentuk bunga merupakan ganti atas pemakaian uang dalam jangka waktu tertentu. Ia menekankan bahwa keuntungan yang diharapkan dapat diperoleh oleh kreditor tidak masuk akal. Bisa saja kreditor tidak meminjamkan modalnya kepada peminjam, tetapi menginvestasikannya pada usaha-usaha yang mendatangkan keuntungan. Tapi kenyataannya, ia tidak menginvestasikannya sendiri modalnya dengan menuntut pembayaran lebih. Dengan demikian, lanjut al-Razi sebenarnya keuntungan yang diperoleh kreditor hanya berupa pengahrapan dan belum terwujud. Sedangkan kelebihan uang, dalam bentuk bunga dari peminjam, adalah nyata dan pasti.
Kedua, bunga merusak moralitas. Hati nurani sebagai cerminan jiwa yang paling murni akan runtuh akibat egoisme pembungaan uang sudah merasuk kedalam diri. Seseorang akan sangat tega untuk merampas apa saja yang dimiliki si peminjam untuk mengembalikan bayaran bunga yang mungkin sudah berlipat-lipat. Tidak pandang orang, si kaya ataupun simiskin, yang sukses dalam menjalankan pinjaman modalnya maupun yang gagal atau bangkrut. Ketiga, bunga tanpa sadar akan melahirkan benih kebencian dan permusuhan antara si kaya dan si miskin. Ketika terjadi wanprestasi, seorang akan tega melakukan apa saja untuk mengambil haknya atau untuk lari dari tanggung jawab sebagai peminjam. Jurang antara si kaya dan si miskin semakin bertambah dalam seiring dengan berlipatnya bunga pinjaman. Keempat, adigium “ yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin” tercapai sudah. Terutama misalnya pada saat terjadi tight money policy (Kebijakan uang ketat). Dalam keadaan ini si kaya akan memperoleh suku bunga yang sangat tinggi, sementara karena biaya modal menjadi sangat mahal, si iskin tidak mampu meminjam dan tidak bisa berusaha, akibatnya dia akan semakin jauh tertinggal di belakang si kaya.
Berdasarkan kajian diatas juga dipahami bahwa pemilihan kontrak bagi muslim ditentukan oleh minimal dua faktor penentu, yaitu (1) ekspektasi keuntungan yang diharapkan (tinggi) dan (2) sesuai dengan syariah. Berbeda dari preferensi non muslim yang hanya berdasarkan keuntungan semata, preferensi muslim dalam memilih tipe kontrak harus sesuai dengan konsep maslahat yang sesuai dengan syariah. Kontrak yang walaupun mendatangkan keuntungan yang sangat besar, namun jika tidak sesuai dengan syariah, tidak dapat diterima. Kontrak dengan bunga yang tinggi misalnya, memang mendatangkan keuntungan yang besar, namun tidak sesuai dengan syariah, maka kontrak itu ditolak. Sharing, merupakan suatu kontrak usaha yang berimplikasi pada rasa tolong menolong dalam menghadapi ketidakpastian dalam dunia usaha. Anjuran Islam tersebut ditambah lagi dengan petunjuk yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas transaksi kontrak. Anjuran tersebut misalnya perintah untuk berbuat jujur (Siddiq). Konsep kejujuran akan mendorong transparansi dalam berkontrak. Transaparansi dapat melahirkan kontrak usaha yang bermutu dan berkualitas.
Islam juga mempunyai konsep penghargaan terhadap waktu dan dorongan untuk bekerja keras didunia. Penghargaan terhadap waktu dan bekerja keras adalah syarat untuk keberhasilan suatu usaha. Islam juga mewajibkan amanah terhadap sesuatu yang dipercayakan orang kepada seseorang. Konsep amanah adalah konsep yang sangat diperlukan dalam sebuah kontrak usaha, apalagi sharing. Ketiga konsep Islam tesebut tentu sangat mendorong terjadinya kontrak yang berkualitas dalam sharing. Karena itu konsep aqd non ribawi sangat memberikan dampak terutama penguatan kedermawanan sosial perusahaan-perusahaan besar di Indonesia dalam membantu usaha kecil dan mikro. Melalui aqd non ribawi dan aktifitas mudharabah menjadi antara kedua pemilik modal (usaha besar) dengan pengguna modal (usaha mikro dan usaha kecil) sama-sama saling membangun kekuatan dibidang usaha dan saling memberikan keuntungan dengan tetap menjaga nilai nilai syari’ah, paling kurang jalinan silaturahmi yang menumbuhkembangkan kebersamaam dalam dunia bisnis.

D. Regulasi Aqd Non Ribawi Pada Corporate Social Responsibilty: Sebuah Tawaran
Sub judul ini menyoroti dua hal yang berkembang CSR-dan bantuan usaha melalui aqd berbunga dengan tawaran konsep fiqh muamalah berbasis non bunga yang diharap dapat berjalan sebagaimana diamanatkan UUD 1945 dan Pancasila untuk membangun keadilan sosial. Berbagai pengamatan ekonom muslim masih menilai aktivitas riba’ yang saat ini menjadi program pembangunan ekonomi dan tipuan pengentasan kemiskinan dengan dalih pemberian modal, tapi pada akhirnya masih dengan syarat debitur harus membayar hutangnya dengan janji membayar berlebihan. Sementara sebagaimana dijelaskan sebelumnya riba adalah transaksi ekonomi yang menyalahi ketentuan keadilan dan tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara disatu sisi bahwa dalam menjalankan tanggungjawab sosialnya, perusahaan memfokuskan perhatiannya kepada tiga hal yaitu (profit), masyarakat (people), dan lingkungan (planet). Perusahaan harus memiliki tingkat pro fitabilitas yang memadai sebab laba merupakan fondasi bagi perusahaan untuk dapat berkembang dan mempertahankan eksistensinya. Perhatian terhadap masyarakat dapat dilakukan dengan cara perusahaan melakukan aktivitas-aktivitas serta pembuatan kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup dan kompetensi masyarakat diberbagai bidang. Dengan memperhatikan lingkungan, perusahaan dapat ikut berpartisipasi dalam usaha pelestarian lingkungan demi terpeliharanya kualitas hidup umat manusia dalam jangka panjang. Motivasi CSR dapat dilihat sebagai berikut
TABEL 3
MOTIVASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILTY (CSR)
No Motivasi Karitatif Filantropis Kewargaan
1 Semangat/
Prinsip Agama, Tradisi, Adat Norma, Etika dan hukum universal; redribusi kekayaan Penderahan diri dan rekonsiliasi dengan ketertiban sosial
2 Misi Mengatasi masalah Menolong sesama Mencari dan mengatasi akar masalah; memberikan konstribusi kepada masyarakat
3 Pengelolaan Jangka Pendek Terencana, terorganisasi, terprogram Teinternalisasi dalam kebijakan perusahaan
4 Pengorganisasian Kepanitian Yayasan Profesional: keterlibatan tenaga ahli dibidangnya
5 Penerima Orang miskin
Usaha mikro/kecil produktif Masyarakat luas Masyarakat luas dan usaha
6 Kontribusi Hibab sosial
Bantuan pembiayaan Hibah pembangunan Hibab sosial maupun pembangunan dan keterlibatan sosial
7 Inspirasi Kewajiban Kemanusian Kepentingan Bersama

Idealitas CSR berangkat dari program yang memiliki tujuan masyarakat. Konsep pengembangan masyarakat sendiri memiliki tujuan pemberdayaan. Proses pengembangan masyarakat mengajak masyarakat agar turut serta dalam berkembang, bukan hanya mendapat bantuan. Artinya, konsep Community Development mengajak dan merangkul seluruh masyarakat untuk dapat bekerja sama dan berpartisipasi penuh dalam pengembangan dan pembangunan masyarakat. Sehingga setelah adanya bentuk kegiatan pengembangan masyarakat ini, mereka dapat lebih mandiri dan berdaya dari sebelumnya. Setelah dipetakan ada beberapa motivasi yang melandasi sebuah perusahaan untuk melakukan CSR, dari mulai menjalankan kewajiban hingga demi membantu sesama, dan beramal kepada sesama menjadi memberdayakan dan membangun masyarakat. Upaya tersebut kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan Undang-Undang No. 25 tahun 2007. Sesuai dengan Undang-Undang No. 40 tahun 2007 pasal 74 dan Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM). Kedua undang-undang tersebut mengatur bahwa setiap perseroan atau penanam modal diwajibkan untuk melakukan sebuah upaya pelaksanaan tanggung jawab perusahaan (CSR). Dalam bidang ekonomi, model kegiatannya yang dapat dilakukan dalam membangun hubungan antara perusahaan dan masyarakat sekitar yang lebih berkualitas adalah melalui pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Peran perusahaan dalam pengembangan UMKM dapat dilakukan dengan memberikan bantuan kepada UMKM sehingga UMKM tersebut dapat membentuk capacity building, financial support dan jalur pemasaran yang kuat. CSR sebagai salah satu solusi kemitraan dapat memperkuat daya saing UMKM.
Dalam kaitan ini, kepedulian perusahaan besar akan memberi manfaat kepada kedua belah pihak, khususnya dalam rangka pengurangan dampak gejolak sosial sebagai akibat adanya kecemburuan sosial – si kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin. Secara spesifik menyebutkan bahwa CSR bisa diarahkan bantuan permodalan, atau dalam bentuk peningkatan kapasitas seperti inovasi packaging, inovasi branding, inovasi produk, serta penampilan produk. Selain hal-hal tersebut, bentuk program CSR lainnya yang juga bisa dilakukan adalah pengembangan lembaga layanan bisnis dan yayasan lain yang intinya diarahkan untuk pengembangan UMKM. Dalam bidang ekonomi, model kegiatannya yang dapat dilakukan dalam membangun hubungan antara perusahaan dan masyarakat sekitar yang lebih berkualitas adalah melalui pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Peran perusahaan dalam pengembangan UMKM dapat dilakukan dengan memberikan bantuan kepada UMKM sehingga UMKM tersebut dapat membentuk capacity building, financial support dan jalur pemasaran yang kuat. CSR sebagai salah satu solusi kemitraan dapat memperkuat daya saing UMKM.
Hasil evaluasi terhadap program CSR memperlihatkan salah satunya belum mengedepankan pembangunan yang lebih terintegrasi. Sebagai contoh, ketika sebuah perusahaan menitikberatkan pada program yang bersifat ekonomi seperti pemberian modal kepada UKM, perusahaan tersebut belum memperhatikan aspek-aspek lain seperti lingkungan dan kapasitas masyarakat tersebut. Secara financial masyarakat terbantu dengan bantuan modal yang diberikan, namun disisi lain ada dampak yang harus diwaspadai yaitu apakah masyarakat mempunyai kapasitas untuk mengelola uang yang telah didapat. Setelah itu apakah jika terjadi peningkatan usaha, perlu diperhatikan juga lingkungan tempat usaha masyarakat apakah mengalami pencemaran atau tidak. Sebenarnya, UKM sendiri (baik yang menerima skema bantuan CSR dari perusahaan atau tidak) tanda adanya unsur kesengajaan sudah melakukan praktek yang mirip dengan penerapan konsep CSR (memiliki unsur 3P yaitu people, profit dan planet) dalam menjalankan usaha bisnisnya.
Berdasarkan hal tersebut maka perubahan yang perlu diarahkan adalah membangun paradigma kemitraan yang efisien berkeadilan sosial. salah satunya dengan mengedepankan konsep mudharabah dan aqd non ribawi. Kemitraan antara pengusaha dan penguasa merupakan kerjasama yang terbuka dan saling mendukung. Kerjasama antara pengusaha dan pengusaha merupaka inti etika bisnis. Dalam prakteknya perusahaan besar (BUMN) membantu pengusaha kecil untuk membagi keuntungan secara efisiensi bukan karena kerangka belas kasihan. Manfaat yang dapat diperoleh bagi usaha kecil dan usaha besar yang melakukan kemitraan diantaranya adalah (1) meningkatnya produktivitas, (2) efisiensi, (3) jaminan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas, (4) menurunkan resiko kerugian, (5) memberikan social benefit yang cukup tinggi, dan (6) meningkatkan ketahanan ekonomi secara nasional. Kemanfaatan kemitraan yang memiliki nilai etika dapat ditinjau dari 3 (tiga) sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang ekonomi, kemitraan usaha menuntut efisiensi, produktivitas, peningkatan kualitas produk, menekan biaya produksi, mencegah fluktuasi suplai, menekan biaya penelitian dan pengembangan, dan meningkatkan daya saing. Kedua, dari sudut moral, kemitraan usaha menunjukkan upaya kebersamaan dam kesetaraan. Ketiga, dari sudut pandang soial-politik, kemitraan usaha dapat mencegah kesenjangan sosial, kecemburuan sosial, dan gejolah sosial-politik. Kemanfaatan ini dapat dicapai sepanjang kemitraan yang dilakukan didasarkan pada prinsip saling memperkuat, memerlukan, dan menguntungkan.
Mencermati pola bagi hasil yang didasari kepercayaan antar pihak yang terlibat, maka dibutuhkan proses pendampingan yang optimal antara lain pembinaan aspek administrasi dan pengelolaan keuangan, pembinaan aspek manajerial, dan pembentukan akses terhadap pasar songket. upaya untuk mengoptimalkan mudharabah pada bank syariah melalui berbagai langkah, antara lain adalah: Pertama, Kesinambungan dan transparansi informasi terhadap usaha yang akan dijalankan. Informasi usaha dan pasar adalah sesuatu yang sangat penting dan berharga dalam setiap usaha. Oleh karena itu langkah ini bisa dimaksimalkan melalui database yang aktual, rinci, dan faktual, sambil terus mencari dan menemukan format usaha yang sesuai dengan iklim usaha kerajinan songket. Kedua, Pengembangan usaha-usaha kerajinan songket yang dibina langsung oleh bank syariah. Industri ini benar-benar milik rakyat, prospektif, dan dikelola dengan amanah. Ketiga, Membuat aturan dan regulasi yang tepat, terstandarisasi, dan sesuai dengan prinsip syariah.
Hal tersebut untuk menegaskan keyakinan kepada masyarakat bahwa BUMN yang menerapkan CSR lahir dari antusias mayoritas umat Islam di kalangan bawah (grass root) lewat jasa bagi hasil. Yaitu kerjasama usaha antara dua pihak. Pihak pertama (BUMN) sebagai penyedia modal, pihak kedua (usaha mikro kecil) sebagai pengelola yang keduanya bergabung sebagai mitra usaha. Untuk dapat menggabungkan dalam kemitraan diperlukan studi kelayakan sederhana dengan melihat realitas usaha bukan berdasarkan data tertulis saja. Setelah mengetahui kekuatan dan kelemahan usaha mikro dan kecil maka tim CRS dari BUMN memberikan kesempatan semua pengrajin dan perajin songket untuk membuat proposal bantuan dana dan diserahkan kepada pihak bank Syari’ah yang ditindaklanjuti lewat studi kelayakan ke tempat usaha yang sudah berjalan. Pengrajin atau perajin yang layak dibantu dituangkan dalam sebuah memorandum of understanding (MOU)/ (qira>d) yang benar-benar dipahami oleh pengrajin/perajin yang menjadi mitra. Dalam proses dapat memberikan pelatihan manajemen sederhana berbasis syari’ah. Salah satu penerapan strategi tersebut, akan memberikan dampak kemitraan yang humanis dan berkesinambungan.
Termasuk juga dalam pembagian keuntungan dengan memberikan penentuan besarnya nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untuk rugi, besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh, bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Dalam hal terjadi kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak, namun jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan jumlah peningkatan jumlah pendapatan. Dalam tulisan Murasa Sarkaniputra, Chudhori membahas tiga point tentang mudharabah, Pertama, tentang dua faktor yang mempengaruhi sistem mudharabah, yakni tingkat laba (profit rate) dan nisbah bagi-laba profit-sharing ratio). Keduanya disebut sebagai tingkat bagi-laba (profit sharing rate). Kedua, adanya suatu penyesuaian yang adaptif antara tingkat dan nisbah, yang berdasarkan hal ini maka kontrak mudharabah termasuk yang patut (fair) diakadkan. Ketiga, mekanisme adaptif ini mentransfer insentif investasi kepada investor swasta dengan mengacu pada adanya keragaman resiko dalam usaha patungan. Pendekatan yang bisa dibangun adalah mengimplemtasikan CSR melalui aktifitas bantuan pembiayaan bidang ekonomi dengan sistem bagi hasil bukan dengan sistem bunga akan menguatkan usaha kecil mandiri. Konsep pemberdayaan Masyarakat yang dilakukan (1) Enabling: Memberikan akses dengan memfasilitasi para UKM serta mengembangkannya; (2) Empowering: Mempunyai fungsi yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan guna memperkuat kapasitas masyarakat. Membangkitkan kesadaran masyarakat dalam menjalankan pelatihan merupakan tugas yang berkaitan dengan fungsi penguatan; (3) Protecting: memberikan pelindungan kepada para UKM dalam mencapai hasil usahanya; (4) Sustainability yaitu aktifitas kemitraan berkelanjutan; (5) Integrated Development Kegiatan tidak hanya di bidang ekonomi tetapi harus memperhatikan aspek lain seperti sosial, politik, budaya, lingkungan, dan spiritual (Lihat Tabel pada akhir makalah).
Pengakuan Islam atas model kemitraan dalam distribusi yang digambarkan tersebut berbeda dengan sistem nilai kapitalisme sebab walaupun pemilikan harta benda secara pribadi diizinkan, namun ia harus dipandang sebagai amanat dari Allah, karena segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi sebenarnya adalah milik Allah, dan manusia sebagai wakil (khalifah) Allah hanya mempunyai hak untuk memilikinya dengan status amanat (Q.S. al- Baqarah [2]:84; Q.S. al-Mu’minu>n [23]:84-85; Q.S.al-Nu>r [24]:33). Seperti juga dalam pembahasan sebelumnya maka dalam tatanan nilai dipertegas lagi bahwa sesunguhnya manusia adalah wakil Allah di bumi, dan harta benda yang dimilikinya adalah amanat dari-Nya, maka manusia terikat oleh syarat-syarat amanat, dan nilai-nilai moral Islam, seperti nilai-nilai halal dan haram, persaudaraan, keadilan sosial dan ekonomi, distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, dan menunjang kesejahteraan masyarakat umum. Ini berarti konsep efisiensi berkeadilan dalam ekonomi berangkat dari persaudaraan dan kebersamaan yang kemudian dikembangkan dalam salah satu konsep dasar ekonomi kerakyatan dapat yang menciptakan pengunaan tenaga kerja maksimal dan mampu mengunakan kapital atau modal membuat seseorang sejahtera dengan membuat orang lain dirugikan.
E. Kesimpulan
Dalam pengembangan ekonomi lokal keberadaan UKM memiliki peranan yang penting karena umumnya berkembang dengan adanya semangat kewirausahaan lokal dan lebih mengutamakan pemanfaatan input bahan baku dan tenaga kerja lokal sehingga keberadaan industri kecil ini dapat berpotensi sebagai penggerak tumbuhnya kegiatan ekonomi lokal suatu wilayah. Salah satu strategi adalah melalui kemitraan. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menumbuhkan lokalitas dengan memadukan, mengorganisasi dan mentransformasi seluruh potensi lokal yang ada terutama aspek pemasaran dan pendanaan sehingga dapat menciptakan sinergi pembangunan. Kemitraan diciptakan dan dipertahankan oleh anggota¬-anggotanya melalui proses komunikasi. Kemitraan ini diben¬tuk untuk melayani berbagai maksud dan tujuan. Oleh sebab itu kemitraan akan terwujud apabila berbagai orientasi dari semua sub-sub sistem tadi dapat dikoordinasikan, disalurkan, dan difokuskan. Kondisi ini akan mempertajam identifikasi permasalahan yang dihadapi, serta mendukung pilihan terha¬dap jawaban permasalahan diikuti dengan strategi yang akan ditempuh.
Keberhasilan dalam menggalang kemitraan dapat dilihat dari dua dimensi yaitu produktivitas-distribusi dan moral/etika. Dari segi produktivitas-distribusi, kemitraan ini akan berhasil bila tujuan kemi¬traan tersebut secara umum tercapai. Dari segi moral, kemi¬traan tersebut berhasil bila tumbuh sikap positif dalam sistem, serta setiap anggota terdorong untuk berpartisipasi penuh dalam mencapai sasaran bersama yaitu kepentingan umum. Menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, BUMN merupakan perusahaan perseroan yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Dan program kemitraan BUMN dengan usaha kecil adalah program yang dibuat untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan strategi kemitraan yang saling menguntungkan dan membangun kemandirian. Salah satunya adalah melakukan perubahan kemitraan dan perjanjian. Diantara yang ditawarkan adalah konsep aqd non ribawi dan mudharabah seperti dikaji dalam fiqh muamalah.

DAFTAR PUSTAKA

‘Abidin, Ibn. Radd al¬Mukhtar. Beirut: Daar al-Fikr, tth.

Abidin,Hasyiyah Ibn. Rad al-Mukhta>r. Beirut: Da>r al-Fikr. Tth

Abu Zaid, Muhammad Abdul Mun’im. Al- wa Tat}biqatiha al-‘Amaliyah fi> al- Mas}arif al-¬Islamiyah. Al-Qa>hirah; al-Ma’ahad al-‘A>limi li al-fikr al-Islam, 1996.

Abu Zaid, Muhammad Abdul Mun’im. Al- wa Tat}biqatiha> al- ‘Amaliyah fi> al- Mas}a>rif al¬-Isla>miyah . Al-Qa>hirah; al-Ma’ahad al-‘A>limi li al-fikr al-Isla>m, 1996.

Ahmad, Khurshid., “ Economic Develovement in an Islamic Framework”. Dalam Khurshid Ahmad (edt), Studies in Islamic Economic. Jeddah: International Centre For research in Islamic Economics, King Abdul Aziz University, And The Islamic Faudation, 1980.

Ahmad, Raisûnî. Nażariyat al-Maqâşid ‘inda al-Imâm al-Syaţibî. Beirût: al-Ma’had al-‘Alami li al-fikri al-Islâmî, 1995.

Ahsan, Fahrul. “On The Nature and Signifance Of BankingWithout Interest”, Bangladesh Bank Bulitten, Vol. 56, February 1978, 9-11

Al-Araby, Muhammad Abdullah. “ Private Property and It’s Limit’s In Islam’, Akademi al-Azhar untuk Riset Islam, konfrensi pertama,tt,

Al-Ba’ly, Abdul Hamid Mahmud. al-Madkha>l li al-Fiqhi al Banu>k al-Isla>miyah. Cairo: al-Ma’had al-Dauli li al-Bu>nuk wa al-Iqtisha>di al-Isla>miah, 1983.

Al-Haq, Mahbub. Islam Property and Income Distribution. Leicester UK: The Islamic Foundation, 1991. Mankiw, Gregory. Priciples of Economics, 2nd edition, 2001; Thomson Learning, Pengantar Ekonomi, terjemahan. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003.

Ali Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor. Kamus Kontemporer, Arab-Indonesia. Jogjakarta: Yayasan Ali Maksum Ponpes Krapyak, 1999.

Al-Maududi, Abu A’la. al-Riba. alih bahasa Arab oleh Muhammad Ashin. Damaskus, Dar al-Fikr, tt.

al-Syarbaini, Al-Khatib. Mughni al-Muhta>j. Beirut : Da>r al-Fikr, 1994.

al-Syaukani, Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad. Nailul Autha>r. tt : tpn. Tth

Anronio, Muhammad Syafei. Bank Syari’ah: Sebuah Pengenalan Umum. Jakarta: Tazkia Institut, 2000.

Chapra, Muhammad Umar. Islam And The Economic Challenge. USA: The Islamic Foundation and The International Institute Of Islamic Thought UK, 1992.
Committee for Economic Development, Social Responsibilities Of Business Corporations. America: Committee for Economic, 1971.

Darwin. Model-Model Pemberdayaan Usaha Kecil Dan Menengah. Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2009.

Dessler. Human Resource Management. New Jesrey: Hall Inc, 2000.

Djamil, Fathurrahman. “Akad Dan Aspek Legalitas Dalam Transaksi Ekonomi Syariah”, Pengantar kuliah Fiqh Muamalat Dalam Keuangan dan Perbankan Islam. Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syahid, 2010.

Haque, Ataul. Riba: The Moral Economy of Usury, Interest, And Profil. Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed and CO, 1995.

Hatta, Muhammad. Pengembangan Usaha Kecil: Salah Satu Aspek Ekonomi Terpimpin. Jakarta: Idayu, 1979.

Heri, Junaidi. Efisiensi Berkeadilan Usaha Songket Palembang, Disertasi masa proses. Jakarta: UIN Syahid, Jakarta, 2011.

Iljas, Achjar. Reformasi Sistem Pembiayaan Usaha Kecil . Jakarta : Global Mahardika, 2004.

Judith, Hennigfeld, et al. The ICCA handbook of corporate social responsibility. New York : J. Wiley, 2006.

Kementrian BUMN Tentang program corporate social responsibilty”, Paper Disampaikan Pada Acara Rakor Penguatan Kerjasama dan Pengelolaan Peluang Kerja dan Peluang Usaha, Bandung, 15 November, 2010

Korten, David C. Kehidupan Setelah Kapitalisme: The Post-Corporate World. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2002.

Mas’ud, Muhammad Khalid. Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al-Shatibi’s Life and Thought. Pakistan, Islamic Research Institute, Islamabad, 1977.

Morrell, Heald. The Social Responsibilities Of Business : Company And Community, 1900-1960, New York: Transaction Publ, 2005.

Murasa Sarkaniputra, Direktur Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Surat tanggapan atas surat MUI, Jakarta, 29 April 2003.

Natalia, Yakovleva. Corporate social responsibility in the mining industries. Aldershot: Ashgate, 2005.

Oliver, Salzamann. Corporate Sustainability Management In The Energy Sector : An Empirical Contigency Approach. Wiesbaden : Betriebswirtschaftlicher Verlag Gabler, 2008.

Philip, Kotler. Nancy Lee, Corporate Social Responsibility : Doing The Most Good For Your Company And Your Cause. America: Wiley cooperation, 2005.

Prakash, Sethi, S. Dimensions Of Corporate Social Performance: An Analytical Framework For Measurement And Evaluation. USA: Schools of Business Administration, University of California, 1974.

Qudamah, Ibn. al-Mughni. Cairo: Da>r al-Mana>r, 1376 H.

Qureshi, Anwar. Islam and The Theory Of Interest. Lahore: tp, tt
Raisu>ni>, Ahmad. Nażariyat al-Maqa>şid ‘inda al-Ima>m al-Syaţiba>. Beiru>t: al-Ma’had al-‘a>lami li al-fikri al-Isla>mi>, 1995.

Rivai. Manajemen Sumber daya manusia untuk Perusahaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Rothmann, Bowen, Howard. Investment In Learning: The Individual And Social Value Of American Higher Education. Baltimore : Johns Hopkins University Press, 1997.

Sabiq, Said. Fiqh al-Sunnah . tt : al-Muallaf, 1998 M

Saidi dan Abidin (2004) dari Edi Suharto, Pekerjaan Sosial, CSR dan ComDev. Dalam www.pkbl.bumn.go.id, acceed tanggal 2 Januari 2011.

Sarkaniputra, Murasa. Ruqyah Syar’iyyah: Teori, Model, dan Sistem Ekonomi. Cirebon: al-Ishlah dan STEI Bobos, 2009.

Wibisono, Yusuf. Membedah Konsep Dan Aplikasi CSR (Corporate Social Responsibility). Gresik : Fascho, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar