Kamis, 24 Februari 2011

BELAJAR DARI KETAWADU’AN SEORANG PROFESOR

by Heri Junaidi

Sore ini udara cerah di ciputat, aku santai dan duduk diberanda sambil menghirup kopi dan gorengan, tiba-tiba datang orang tua yang bersahaja, menghampiri dan bertanya dengan sangat sopan,”maaf dik, saya kebetulan lewat sini, boleh saya duduk bersama adik disini?”, dengan senang hati saya dan teman mempersilahkan dia duduk. Lama bercerita ternyata dia baru di Ciputat, berjalan-jalan dikampus UIN dan lupa menuju penginapan di Syahida INN. Aku menjelaskan arahnya, si bapak tua menggangguk. Ia tidak tertarik dengan jalur yang kusampaikan, ia malah tertarik dengan lembaran kertas teman yang sedang mengolah data disertasi. Ia bertanya lembut, dan dijawab teman dengan gaya sedikit angkuh, menunjukkan betapa hebatnya kerangka berpikir yang sudah dibangunnya. Segla argumentasi disampaikan, dan temanku bahkan saya sendiri yakin bapak sederhana pasti tidak mengerti apa yang dibicarakan. Ia begitu khusu’ mendengarkan, mencoba memahami pola pembicaraan dan pemikiran temanku yang begitu bergaya menyampaikan. Tidak lama, si bapak tua memberikan argumentasi yang sederhana, namun temanku “yang angkuh” dengan berbagai metode disampaikan dan bahkan saya sendiri terkagum heran. Ia memberikan coretan sederhana dan memberikan usulan dengan tambahan informasi yang benar-benar tidak terpikirkan oleh kami semua.

Luar biasa, bapak yang sederhana, santun dan terlihat tidak memiliki apa-apa, ternyata mampu mematahkan argumentasi teman dengan sedikit coretan. Kami semua terdiam, dan mendengar informasi dari mulutnya yang begitu tenang hingga datang seseorang yang menjemput, dan langsung menyalami dan menyebut Prof…..!. weleh..kami terkesiap, teryata dihadapan kami adalah seorang guru besar dengan segudang tulisan dan beberapa bukunya menjadi rujukan disertasiku. Yang menjadi aku semakin kagum dengan kebersahajaan, kesederhanaan, dan pengayomoan kepada kami semua dengan arif, tanpa sedikitpun mencela, menghina atau mencemoohkan. Kami semua tidak bisa berkata lagi hingga bapak itu mengulurkan tangan dan mengucapkan terima kasih sudah membeerikan tempat berteduh rehat sejenak dan minum kopi khas anak kost an…sure, sampai bapak itu pergi, aku tidak bisa bangkit terperangah…..

Aku kembali jadi teringat peristiwa yang hingga kini masih membekas. Saat masuk kerumah sederhana, dan kulihat seorang tua dengan pakaian amat sederhana sedang merumput halaman (saya yakin itu adala tukang kebun). Saya bertanya,” maaf pak, saya ingin bertemu dengan pemilik rumah bernama bapak Prof. Dr……”, pak tua itu membungkuk hormat, dan bertanya kepeerluan apan. Aku menjawab seadanya,” ingin ngontrak dirumah sini”. Bapak tua itu mempeersilahkan untuk duduk diberanda dengan sopan, dan dia kemudian masuk kerumah (aku yakin, memberitahu pemilik rumah bapak Prof, Dr…). tidak lama pintu ruang depan terbuka, “subhanallah…bukan main terkejutnya saya, bapak yang kukira tukang kebun itu, adalah Prof. Dr ….yang kucari. lain hari aku juga menemukan Prof yang begitu enak diajak berkomunkasi, menganyomi, memberikan spirit dan tidak segan mengajak kami makan, sebab mereka tahu kami anak kost yang memerlukan penambahan stamina...tapi intinya adalah perhatiaan dengan kalangan bawah itu menjadi kredit point bagi aku yang biasa cerodean dalam diam, dalam lisan maupun dalam tulisan.

Dua kejadian ini aku semakin mendapatkan pengetahuan yang tidak akan bakal ditemukan dalam sejarah belajar di kelas. Dua orang guru besar dengan segudang ilmu dan pengetahuan mengajarkan aku implemtasi ‘ilmu Padi’. Belajar untuk pintar, demikian salah satu kalimat yang kukutip. Pintar memaknai hidup, pintar bersosilisasi dan tahu menempatkan diri, tidak malu untuk bersama dengan masyarakat bawah, dan tidak juga minder pada masyarakat sederajat. Rasanya aku jadi merasa ada yang salah ketika mendengar dialog temanku yang diantaranya menyebutkan”…..buat apa cepet-cepet selesai Doktor, atau magester, tokh di kampus kita sudah bagi-bagi kekuasaan…”. Betapa mirisnya menghabiskan waktu, umur dan dana hanya untuk kuliah untuk mendapatkan jabatan atau jati diri. Aku juga ingat pesan Prof,….yang memberikan amanat, apa makna disekitar kampus kita diberi bangku-bangku, tidak lain untuk memberikan kesempatan semua dosen (S1, S2, S3, bahkan guru besar) untuk duduk disana disaat senggang, berdiskusi dengan mahasiswa tanpa ada skat kecuali kemampuan ilmu dan pengetahuan, memberikan motivasi dan bimbingan. Mulia sekali apa yang dicita-citakan, namun kini bangku-bangku itu sudah menjadi ajang komunikasi cinta dan ajang ngrumpi, kongkow kongko, hanya sedikit mahasiswa memakai bangku itu untuk belajar….., sementara dosen sungkan atau mungkin “malu” duduk disana takut merasa hilang wibawa sebagai seorang dosen(“?”)

Kemarin dan hari ini aku belajar dari guru besar yang arif, tawadhu dengan ilmunya dan kemurahan hati untuk memberikan ilmu yang dimiliki, sekaligus menerima masukan dari ‘mahasiswa’nya tanpa ada rasa malu, dan tersaingi. Tidak sungkan duduk bersama mahasiswanya, tidak takut dicemooh…

(terima kasih prof, ilmu terapan itu akan selalu kuimplemtasikan dalam kehidupan akademikku…)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar