Selasa, 22 Februari 2011

MESIR: SEKALI LAGI CONTOH REVOLUSI RAKYAT KARENA KEBOHONGAN PEMERINTAH

by Heri Junaidi

Pasca Jasmine Revolution di Tunisia berhasil menumbangkan penguasa despotik Zine el-Abidine ben Ali, gelombang protes politik merambah kemudian keYaman, Yordania,dan Mesir, mengalir deras melintasi sungai Nil dan mengguncang Mesir. Pergolakan politik di negeri Cleopatra itu memuncak hingga di kota-kota penting Kairo,Alexandria, Mansoria, Suez. Pergolakan sosial atau revolusi sosial diikuti oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Para demonstran yang turun ke jalan mewakili spektrum kelompok sosial yang luas, tak terbatas pada kelas sosial tertentu. Kelompok miskin dan kaum marjinal, kelas menengah ekonomi dan kaum terpelajar, kelompok politik yang beraliran ideologi Islamis seperti Ikhwanul Muslimin atau penganut Kristen Koptik, menyatu dalam gerakan protes. Bahkan kaum perempuan muda, ibu-ibu, dan orang tua membawa anak-anak mereka turun ke jalan dan membaur dalam gelombang massa para demonstran. Dengan lantang,mereka berseru: hurriya! ... hurriya! Dengan jargon dasar “Syab yurid isqad al-rais



Mesir: Negara Gemilang Dalam Kemiskinan

Sejarah menoreh pencapaian gemilang dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan dari purba hingga modern. Orang-orang bertalenta membangun karya agung piramida yang mampu tegak ribuan tahun. Contoh lain yang mengukir besarnya peradaban Mesir, hanya Mesir yang mampu melahirkan empat tokoh peraih Nobel dunia: Anwar Sadat, Mohammed ElBaradei mendapat masing-masing Nobel Perdamaian, Naguib Mahfud peraih Nobel Sastra, Ahmed Zewail pemenang Nobel Kimia.Tak terhitung ilmuwan-ilmuwan Mesir berkelas dunia berkarya di universitas- universitas prestisius dan lembaga- lembaga riset terpandang di benua Amerika dan Eropa. Termasuk di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia. Anehnya, meski dikenal sebagai salah satu pusat peradaban paling kuno yang mengilhami perkembangan peradaban dunia, Mesir justru termasuk negara Dunia Ketiga yang masih terbelakang di era modern diantara negara-negara Muslim. Data media eljazera menyebutkan sekitar 21,6% dari 80 juta penduduk Mesir hidup dalam kemiskinan ekstrem. Pengangguran mencapai 9,4%, banyak penduduk tak bisa baca-tulis (buta aksara),anak-anak usia sekolah tak mendapat akses pendidikan dan kesehatan, dan pelayanan publik amat buruk.

Mesir kemudian mengulang sejarah negara yang berpangkal pada praktik korupsi yang sudah sedemikian kronis dan menggurita di tubuh pemerintahan yang melibatkan kroni-kroni Presiden Hosni Mubarak .Problem sosial akut yang berkelindan dengan sistem pemerintahan otoriter membuat rakyat frustrasi. Lagi-lagi Nasi sudah Menjadi bubur, ketika rakyat sudah marah maka satu tuntutan “turunkan presiden” tanpa mendengar lagi fatwa Mufti dan Syaikh al-Azhar yang dianggap masyarakat adalah kroni presiden karena mereka diangkat oleh Presiden yang tinggal adalah para ulama “diatas dan untuk semua golongan” yang masih didengar. Seperti fatwa Yusuf Qardhawi yang menyebut para demonstran yang terbunuh adalah Syahid, maka semua ingin berprestasi dengan syahid, Husni mubarak kemudian dicap sebagai Firaun modern. Husni Mubarak tidak menganggap sedikitpun aspirasi yang berkembang kuat ditengah rakyatnya yang mendesak dirinya turun dari kekuasaannya yang koruf dan refresif. Husni Mubarak tampaknya tidak mengerti dan menutup telinga bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan karena dirinya telah menjadi penghamba tahta dan harta semata. Janji dan perubahan cepat lewat pidato dengan janji untuk melakukan reformasi politik-ekonomi secara menyeluruh dengan menyediakan lapangan pekerjaan untuk mengurangi pengangguran, menurunkan tingkat kemiskinan, meningkatkan pelayanan publik, sekarang dianggap sudah tiada nilai….Reformasi politik ekonomi yang ditawarkan Presiden Mubarak tak berguna, karena rezim pemerintahan yang dia pimpin sudah bobrok.Sistem politik tetap sama dengan elite-elite politik korup di pemerintahan.Tak akan ada perubahan apa pun sepanjang Presiden Mubarak tetap berkuasa. Ia harus pergi meninggalkan Mesir dan bergabung dengan Zine el- Abidine di Arab Saudi atau pergi ke mana pun,”(BBC,28/01).

Pengamatan saya yang tetap menunjukkan bahwa Mesir adalah tetap bangsa beradab dalam kemarahan apapun masih membangun nilai-nilai kemanusian. Sikap meliter tidak berupaya melakukan tindakan kekerasan, mereka hanya mengambil- alih tugas polisi yang sudah tak mampu mengatasi pergolakan politik. Maka,tentara pun terlihat berhati- hati dan bersikap ramah dalam menangani aksi demonstrasi. Rakyat Mesir sendiri meyakini bahwa tentara akan memegang teguh doktrin patriotic bulkward, yang mewajibkan mereka untuk berpihak hanya kepada kepentingan rakyat. Kehadiran mereka di jalanan hanya untuk mengantisipasi kekerasan yang muncul selama protes berlangsung, sehingga aksi destruktif dan tindakan anarkis dapat diminimalisasi. Well….Sebuah pembelajaran bahwa tentara dan rakyat adalah manusia yang ingin damai.



So.. Sekali lagi kita belajar kekuasaan yang tanpa batas dan tanpa kontrol akan berujung pada rezim yang korup dan menindas. Namun, selalu pula terbukti bahwa kedaulatan rakyat tak pernah selamanya bisa dibungkam… Satu lagi yang perlu diingat belajar dari Mesir, Iran dan beberapa negara Muslim lainnya jika para tokoh agama mulai turun gunung untuk membenahi karut marut kehidupan bernegara PERLU SANGAT DIPERTIMBANGKAN, sebab sejarah politik dunia membuktikan kehadiran tokoh agama dalam setiap pergolakan politik seringkali menjadi pertanda akan jatuhnya sebuah rezim kekuasaan. So, Kehadiran tokoh agama yang kritis, berani dan solid perlu direspon positif untuk segera berbenah diri dari semua sektor……Percaya atau tidak percaya, kisah Mesir akan datang ke Indonesia jika tidak segera berbenah diri...Cukup sudah tragedi 1998, jangan lagi ada tragedi lain, jadikan semua hal di dunia ini menjadi pengalaman berharga untuk kita semua sebagai Indonesia baldatun thayyibatun warabbun ghafur dan pemerintah (al-Ra'i) yang selalu ingat aspirasi rakyat (al-Raiiyah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar