Kamis, 24 Februari 2011

SKETSA “NO” ADALAH JAWABAN

by Heri Junaidi

Herman termangu di salah satu sudut tempat duduk di jalan Avenue des Champs-Elysées, taman abad ke-17 yang kemudian dijuluki la plus belle avenue du monde ("jalan terindah di dunia") di Paris. ada getar dan rasa yang tidak bisa ia bayangkan disaat membaca sms dari Riyani, adik kelasnya di Leipzig University of Germany di lokasi Bundesland Sachsen di Jerman. Terasa bayang-bayang pertemuan demi pertemuan hinggap dimatanya. Herman dan Riayani dua diantara ribuan mahasiswa magester dan PhD dari Indonesia yang belajar di negara Jerman, Pertemuan berawal dari satu apartemen mahasiswa, bertemu, berdiskusi sederhana hingga membahas kajian-kajian sosiologi kawasan baik di apartemen masing-masing maupun duduk bersama di bantaran sungai Pleiße, Weiße Elster dan Parthe. Tidak ada yang istimewa didiri Riyani, gadis kebanyakan yang merantau dinegara lain untuk mendapatkan ilmu dan gelar, “lumayan buat meningkatkan status dan prestise”, demikian sering ia sampaikan saat mereka sedang bercanda habis belajar bersama. Bagi Herman, Riyani adalah gadis luar biasa, memiliki semangat, komunikasi dan kemandirian dibalik kemanjaannya. Pola komunikasi aktif yang tidak dimiliki Herman, menjadikan Riyani gadis yang bisa menutupi sedikit kekurangan di negara bekas jajahan Nazi ini.

Herman tahu, Riyani memiliki sisi kehidupan lain, ia sudah mempunyai kekasih, yang pasti mencintainya dan dicintainnya, Herman juga menyadari bahwa ia juga memiliki orang-orang yang mencintai dan mengasihinya. Namun Herman sadar, mereka-mereka tidak bisa hidup dalam dirinya yang bergelimang dengan buku dan tutur ilmiah yang harus dicerna dengan lipatan kening yang dikerutkan. Ia mencoba membangun sisi lain untuk bisa menemukan tempat untuk berkomunikasi yang bisa saling memahami kesulitan studi, bisa berdialog tanpa harus ada skat,”aku membutuhkan kekasih akademik” demikian ia pernah sampaikan kepada sahabatnya Edward, yang kuketahui memiliki teman, dan kekasih akademik untuk menguatkan eksistensinya di rantau ini. Herman juga tahu, Edward dan Serma, keduanya masing masing memiliki kekasih di negaranya masing-masing, atau Meilani sohib mandarin yang kenal dengan Semail, seorang mahasiswa dari negara Yordania, mereka semua patner sekalgus kekasih dalam belajar. “so, tentukanlah, tanyakan, kalau kau hanya menyimpannya didalam hati, who knows?” demikian dia berkomentar.

Ah, Riyani” gumannya, “aku ingin menyampaikan apa yang menjadi keinginanku ini kepadanya, tapi bagaimana? aku bukanlah Ws Rendra, atau Leonowens yang menulis salah satu bukunya sastra Both Side In Wisdom dengan kalimat“Niat baik tidaklah cukup untuk melahirkan suatu antusiasme kebaikan; jika tidak diiringi dengan konsekuensi pemikiran yang teratur, baik, dan benar.” Demikian Herman mencoba menilai kekurangannya. “well, aku ada laptop, akan kutiliskan sebuah keinginanku dalam catatan yang bisa dibaca”?. Bersama sepoi angin dibawah pohon pohon linden di samping apartemennya, Herman kemudian menulis keinginannya untuk menjadikan Riyani, bukan sekedar teman seperti dengan yang lainnya, atau persaudaraan “kakak-adik” sebab dia sudah memiliki itu semua, ia menginginkan Riyani, teman satu apartemen, satu kuliah di Leipzig ini sebagai kekasih untuk menguatkan perjalanan kuliahnya. Sebagai kekasih yang saling mengerti, saling memahami dan saling mendukung semua usaha dan kreatifitas belajar di rantau ini. Hilir mudik mahasiswa lain menyertai semua tulisannya.

Libur kuliah sebentar lagi, Herman mendapatkan kabar Riyani akan pergi ke Gunung Puji di Jepang, untuk menemui papanya yang sedang seminar sekaligus ingin melihat keindahan bunga sakura dan gunung puji yang mulai menebar lava. Herman galau, karena Riyani akan pergi, namun dia tahu semua tidak bisa dihalangi. Hermanpun berpikir untuk pergi berjalan melihat Eifel Tower di Prancis. Saat berpisah, surat yang dibuatnya dengan hati yang paling dalam ia serahkan didalam tasnya dan dimintanya Riyani membaca dengan “hati” bukan sekedar lisan orang-orang yang pandai membaca saat perjalannya nanti. Mereka berdua berpisah di gerbang apartemen untuk menuju masing-masing tujuan. Herman masih sempat berguman dan berdoa,” maafkan aku Riyani, aku tidak bisa mengantarmu, karena aku tahu kamu sudah memiliki janji untuk bersama “temanmu” yang kamu pilih sendiri, semoga kau selamat…”

Kini ia tertegun, jawaban Riyani telah ia dapatkan dengan kata “No”, bukan “tidak bang, maafkan Riyani” dalam bahasa Indonesia, karena tahu bagaimanapun Riyani adalah orang Indonesia, sama seperti dia. Herman kecewa, sebab ungkapan “no” yang menyiratkan dua kata yang sangat asing, asing karena jawaban ditulis dari orang yang bisa berbahasa ibu, jawaban yang ditulis Riyani, gadis yang ia sayangi dan dihormatinya tanpa menyimpan makna apapun karena suratnya tidak dibaca dengan hati, lebih-lebih Riyani dengan santai menulis sms, “carilah gadis lain yang lebih memahami abang, dan mau berjuang dengan abang”. Herman tertegun," Riyani, apa sebenarnya yang kamu pahami dengan kekasih itu, apakah pikiranmu cuma tahu bahwa kekasih identik dengan nafsu sesaat, pernahkah kamu membayangkan kekasih adalah orang terdekat yang hanya memperhatikan satu orang saja, saling mengerti, saling memahami, saling berdialog dengan tullus, ikhlas dan bukan kamuplase seperti layaknya teman atau saudara kebanyakan, saat sakit maupun suka, kekasih pertama yang harus tahu yang akan bergembira memeluk pertama atau yang mengurusmu. ah. Riyani, kenapa kamu menganggap dirimu masih kecil, sadarkah bahwa dirimu sudah dewasa dengan tempaan penglaman demi pengalaman di negara lain, dan inilah yang menyebabkan aku tertarik padamu?"

Herman menerawang, “Tidak, aku tidak boleh larut dengan realitas ini, aku harus segera bangkit, mungkin ia benar, apalah artinya aku yang jelek, miskin dalam perantauan, tidak punya apa-apa, Cuma pintar nulis dan tidak pandai berkomunikasi apalagi merayu, dibandingkan dengan teman-temannya yang tanpam, memanjakannya dan memiliki segalanya, mungkin ia juga benar untuk mencari gadis yang benar-benar bisa memperhatikan dengan tulus, memahami keresahannya, dan mau saling membantu dalam sedikit waktu di rantau ini”.

Herman tersenyum, ia bangkit dari kursi, ia harus segera ke kampus universitas Jussieu, Quartier Latin di Perancis untuk mencari data-data disertasi yang akan segera dibawanya pulang ke apartemennya di Jerman. Dalam tulisan kertas kopelan Herman menulis,”terima kasih Riyani, semoga kau bahagia dan mendapatkan kekasih dan patner belajar yang sesuai dengan kreteriamu, sebagaimana aku akan pulang dengan sikap dan prilaku yang baru, lebih tekun, akan kutemukan gadis yang engkau inginkan yang bisa menjadi kekasih dan patner belajarku yang mungkin tinggal sesaat lagi ini , karena aku tdak ingin ketinggalan kereta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar