Kamis, 17 Februari 2011

VALAS SEBAGAI INSTRUMENT DERIVATIVE: STUDI KOMPARATIF INDONESIA DAN SUDAN

Oleh Heri Junaidi
(Untuk contoh mahasiswa PMH mata kuliah Fiqh Muamalah Perbandingan)


Pengantar
Makalah ini membahas valuta asing (valas) atau foreign exchange (forex) yang diartikan sebagai mata uang yang dikeluarkan dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di satu negara. ‘Valas’ memiliki ruang terbuka untuk didekati dalam perspektif manapun baik dari aspek pasar, bisnis, ekonomi keuangan, dampak hingga masalah hukumnya. Dalam pendekatan ekonomi keuangan dan standar kesejahteraan misalnya, kapitalisme merumuskan masyarakat sejahtera dalam pendekatan materialis murni. Kesejahteraan didefinisikan sebagai terpenuhinya segala kebutuhan materil manusia sesuai dengan hasil kerja optimal masing-masing orang atau kelompok. Sebagaimana menurut Adam Smith dalam karyanya The Wealth of Nation (1776), bahwa kesejahteraan diukur berdasarkan seberapa besar hasil barang serta jasa yang diproduksi dan dikonsumsi , karenanya yang disebut dengan istilah negara maju adalah yang menikmati pendapatan tinggi dan ini berarti nilai mata uang yang dimiliki negara tersebut juga memiliki rating yang tinggi. Dari aspek tersebut, maka nilai mata uang yang tertinggi menjadi bagian dari bisnis keuangan yang semakin diminati oleh masyarakat yang hidup dalam negara yang memiliki rating nilai mata uang rendah dari masyarakat yang tinggal di negara-negara berkembang. Pada akhirnya uang sangat menguasai sektor moneter (sistem uang kertas [fiat money], perbankan ribawi, pasar modal, bursa saham, valas) atas sektor riil (perdagangan dan jasa yang bersifat nyata).

Teoritisasi Valuta Asing
Valuta asing dalam istilah bahasa Inggris dikenal dengan money changer atau foreign exchange, sedangkan dalam istilah Arab disebut al-sharf. yang berarti berarti penambahan, penukaran, penghindaran, atau transaksi jual beli. al-Sharf adalah perjanjian jual beli satu valuta dengan valuta lainnya . Valas atau al-sharf secara bebas diartikan sebagai mata uang yang dikeluarkan dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di negara lain . Dengan demikian valas adalah jual beli valuta dengan valuta lainnya yang dijadikan dasar alat transaksi.
Taqiyyudin an-Nabhani mendefinisikan valas dengan pemerolehan harta dengan harta lain, dalam bentuk emas dan perak, yang sejenis dengan saling menyamakan antara emas yang satu dengan emas yang lain, atau antara perak yang satu dengan perak yang lain atau berbeda jenisnya semisal emas dengan perak, dengan menyamakan atau melebihkan antara jenis yang satu dengan jenis yang lain. Nabhani juga menyatakan bahwa jual beli mata uang merupakan transaksi jual beli dalam bentuk finansial yang menurutnya mencakup: Pertama, Pembelian mata uang dengan mata uang yang serupa seperti pertukaran uang kertas dinar baru Irak dengan dinar lama; Kedua, pertukaran mata uang dengan mata uang asing seperti pertukaran dolar dengan pound Mesir; Ketiga, pembelian barang dengan uang tertentu serta pembelian mata uang tersebut dengan mata uang asing seperti membeli pesawat dengan dolar, serta pertukaran dolar dengan dinar Irak dalam suatu kesepakatan; Keempat, penjualan barang dengan mata uang, misalnya dolar Amerika dengan dolar Australia; Kelima, penjulan promis (surat perjanjian untuk membayar sejumlah uang) dengan mata uang tertentu; Keenam, penjualan saham dalam perseroan tertentu dengan mata uang tertentu .

Makna Nilai Derivative, Option

Pengertian Derivatif (derivatives) secara umum adalah sebuah instrumen keuangan (financial instrument) yang nilainya diturunkan atau didasarkan pada nilai dari aktiva, instrument, atau komoditas yang lain. Definisi ini bisa didapat di berbagai situs di internet maupun buku-buku teks. Secara ringkas, bisa dikatakan bahwa derivative hanya ada kalau aktiva, instrumen, atau komoditas lain sebagai instrumen utamanya ada. Contoh dari derivatif adalah opsi right . Dalam pemahaman yang hampir sama derivatif adalah sebuah istilah portofolio yang mengaitkan suatu kenaikan jumlah produk dan jenis-jenis produk dengan seperangkat penggunaan yang semakin membingungkan. Kelompok-kelompok orisinil dari produk yang dianggap sebagai derivatif telah diperluas untuk mencakup: jenis produk baru, klasifikasi produk baru, pasar-pasar baru, para pengguna baru, dan bentuk risiko baru. Dua klasifikasi terbesar dari derivatif adalah derivatif berbasis forward (forward-based derivatives) dan derivatif berbasis option (options-based derivatives). Sebenarnya masih banyak klasifikasi lainnya, yang mencakup strip dan mortgage-backed securities, tetapi yang terkenal adalah dua klasifikasi utama tersebut di atas .
Suatu transaksi derivatif merupakan sebuah perjanjian antara dua pihak yang dikenal sebagai counterparties (pihak-pihak yang saling berhubungan). Dalam istilah umum, transaksi derivatif adalah sebuah kontrak bilateral atau perjanjian penukaran pembayaran yang nilainya tergantung pada – diturunkan dari – nilai aset, tingkat referensi atau indeks. Saat ini, transaksi derivatif terdiri dari sejumlah acuan pokok (underlying) yaitu suku bunga (interest rate), kurs tukar (currency), komoditas (commodity), ekuitas (equity) dan indeks (index) lainnya. Mayoritas transaksi derivatif adalah produk-produk Over the Counter (OTC) yaitu kontrak-kontrak yang dapat dinegosiasikan secara pribadi dan ditawarkan langsung kepada pengguna akhir, sebagai lawan dari kontrak-kontrak yang telah distandarisasi (futures) dan diperjualbelikan di bursa. Menurut para dealer dan pengguna akhir (end user) fungsi dari suatu transaksi derivatif adalah untuk melindungi nilai (hedging) beberapa jenis risiko tertentu .
Alasan penggunaan derivatif adalah (1) Peralatan untuk mengelola risiko; (2) Pencarian untuk hasil yang lebih besar; (3) Biaya pendanaan yang lebih rendah; (4) Kebutuhan-kebutuhan yang selalu berubah dan sangat bervariasi dari sekelompok pengguna; (5) Hedging risiko-risiko saat ini dan masa datang; (6) Mengambil posisi-posisi risiko pasar; (7) Memanfaatkan ketidakefisienan yang ada di antara pasar-pasar. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan contoh sebagai berikut: ada seorang pengusaha impor kopi yang bisa membeli opsi right dengan harga tertentu untuk membeli kopi dari Brasil dengan kurs yang sudah ditetapkan sebelumnya, misal Rp9.500/USD, yang akan dibayarkan 6 bulan kemudian. Opsi ini bisa dieksekusi atau tidak tergantung dari situasi yang dihadapi pengusaha tersebut 6 bulan kemudian. Kalau kurs pada waktu 6 bulan kemudian ternyata Rp8.500/USD, maka akan lebih menguntungkan bagi pengusaha tersebut untuk tidak mengeksekusi opsi right-nya karena kurs pasar lebih murah. Namun, pengusaha tersebut menderita kerugian karena telah mengeluarkan uang untuk membeli opsi right 6 bulan sebelumnya. Sedangkan apabila sebaliknya yang terjadi, misal kurs 6 bulan kemudian adalah 1 USD=Rp 10.500, maka pengusaha tersebut bisa mengeksekusi opsi right yang dimilikinya karena kurs opsi lebih murah . Selain pengertian derivative, ada satu istilah yang berkaitan erat dengan derivative yaitu “manajemen risiko” .
Dalam berbagai literatur, derivative/option terbagi dalam 2 pandangan pakar keuangan . Pandangan pertama seperti Walmsley (1998) percaya bahwa paling tidak ada empat kegunaan derivative yaitu: pengalihan risiko (risk tansfer), peningkatan likuiditas (liquidity improvement), penciptaan kredit (credit creation), dan penciptaan ekuitas (equity creation). Dengan menggunakan derivative maka investor atau pengusaha dapat mengalihkan risiko keuangannya karena mereka telah melindungi diri dari ketidakpastian (hedging the risk). Karena derivative dapat dengan mudah diperdagangkan di pasar uang, maka derivative dipercaya sebagai instrument yang likuid (mudah cair) karena investor atau pengusaha dapat meng-uang-kan derivative di pasar uang dengan relative cepat di kala mereka membutuhkan uang. Derivatif juga dapat menciptakan kredit dan ekuitas karena instrument derivative memperluas sumber kredit dan ekuitas dengan menciptakan jenis kredit dan ekuitas yang baru. Walmsley menegaskan bahwa manfaat penciptaan kredit dan ekuitas ini timbul karena investor dan pengusaha memiliki lebih banyak instrument Keuangan yang bisa dipilih .
Meskipun Walmsley mengakui bahwa ada juga kelemahan dari derivative, seperti bisa menimbulkan ketidakstabilan, tapi Walmsley berkesimpulan: “On balance, however, the innovations that have been made are almost certainly beneficial for the system as a whole” . Carl Johan, Lindgren, et el juga sependapat dengan Walmsley tentang manfaat derivative. Menurutnya tujuan utama dari derivative adalah untuk melindungi perusahaan dalam melakukan transaksi bisnis. Tujuan yang diungkapkan oleh Karimova ini dikenal dengan istilah pemagaran (hedging). Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa perusahaan yang menggunakan hedging dalam melakukan transaksi bisnisnya akan memiliki nilai pasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang tidak menggunakan atau berhenti menggunakan hedging. Selain itu, transaksi derivatif valas yang dilakukan tanpa disertai underlying transaction dibatasi maksimal 3 juta dollar AS per bank pada satu posisi tertentu. Namun demikian, karena dalam rangka manajemen risiko yang sehat diperlukan lindung nilai (hedging) terhadap berbagai risiko yang dihadapi para pemilik dana luar negeri yang menanamkan dananya di Indonesia, Bank Indonesia tidak membatasi transaksi derivatif valas yang berkaitan dengan kegiatan perekonomian sepanjang dapat dibuktikan dengan dokumen pendukung .
Pendukung derivatif berargumen bahwa derivatif akan mendistribusikan resiko secara efisien di antara para pelaku, sehingga mereka akan lebih produktif dan perekonomian menjadi lebih makmur. Contoh klasiknya adalah produsen komoditi pertanian atau energi yang melakukan lindung nilai terhadap ketidakpastian harga di masa depan dengan menggunakan futures sehingga produksi riil tidak akan terhalang oleh ketidakpastian harga. Disini terjadi transfer resiko yang akan memperbaiki efisiensi dan produktivitas perekonomian, dari hedgers ke pihak lain yang lebih mampu mengambil resiko yaitu spekulator . Derivatif mengizinkan resiko ditransfer ke pihak yang bersedia menerimanya, namun bukan selalu pihak yang mampu mengelola-nya. Pelaku yang memiliki keterbatasan dana, akan bersedia mengambil resiko jika mereka dibayar dimuka walaupun tidak mampu menanggung beban resiko tersebut. Derivatif memisahkan resiko dari aktivitas ekonomi riil dan membuatnya dapat diperdagangkan secara terpisah, sehingga mentransformasikan resiko menjadi “komoditas”. Dari sudut pandang sosial, resiko harus diminimalkan, bukan dipromosikan. Namun, penciptaan pasar untuk resiko, bisa justru menggelembungkan resiko, bukan meminimalkannya. Karena pelaku pasar mencari keuntungan, beberapa pemain, khususnya spekulator, akan lebih baik jika pasar semakin besar. Sedangkan pelaku ekonomi sektor riil dan konsumen akan lebih baik jika resiko adalah minimal .
Instrument derivatif memiliki struktur risk-reward yang berbeda jauh dari instrument dengan aset riil. Produksi profil resiko artifisial ini menciptakan peluang arbitrase yang independen daripeluang riil, yang membuka pintu untuk spekulasi murni, terlepas sepenuhnya dari aktivitas ekonomi riil. Spekulasi murni pada gilirannya mendistorsi harga aset dan membebani perekonomian dengan biaya yang lebih besar dari biaya riil, sehingga berdampak negatif pada peluang investasi riil. Sekali resiko terpisah dari sektor riil, tidak ada batasan jenis resiko yang bisa diperdagangkan, mulai dari rating perusahaan, penyelesaian takeover, cuaca di New York atau resiko apapun lainnya. Lebih jauh lagi, derivatif dapat diturunkan dari derivatif lainnya, bukan aset riil, sehingga ada options on futures, futures on options, options on options, dan lain-lain. Hal ini membuat ukuran dan pertumbuhan derivatif independen dari sektor riil. Dan karena sektor riil jauh lebih kompleks dan dihadapkan pada berbagai kendala, maka pertumbuhan pasar derivatif jauh lebih cepat dari aset riil. Dengan pertumbuhan yang jauh diatas pertumbuhan sektor riil, derivatives membuat perekonomian semakin beresiko dan memfasilitasi krisis keuangan .
Pandangan kedua, seperti Stout (1996) masih meragukan manfaat perdagangan derivative. Menurutnya perdagangan spekulatif derivative bisa sangat merusak bagi investor dan pemegang saham karena dapat mengikis laba perusahaan dengan cepat. Stout menjelaskan bahwa: “disagreement-based trading in derivatives, like gambling, is a negative-sum game that erodes the wealth and increases the risks of the average player who indulges in it” yang terjemahan bebasnya adalah bahwa ketidaksetujuan atas perdagangan derivative, seperti halnya atas perjudian, adalah adanya negative-sum game (yaitu suatu permainan dimana tidak ada satu pihak pun yang menang) yang akan mengikis kekayaan perusahaan sekaligus meningkatkan risiko keuangan bagi pemain yang terlibat di dalamnya. Derivatif adalah sangat leveraged yang membuat sistem finansial sangat rawan. Bayangkan saja, untuk nilai transaksi sebesar 100%, pemain hanya perlu menyediakan dana antara 1%-10% saja .
Derivatif memiliki resiko tambahan karena banyak kontraknya bersifat sangat spekulatif sehingga meningkatkan peluang rugi besar jika gagal. Dalam pasar derivatif para spekulan memainkan peran penting dalam perdagangan derivatif keuangan. Mereka membeli dan menjual kontrak-kontrak bergantung pada persepsi mereka tentang gerakan pasar keuangan. Rumor juga memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan. Sehingga, risiko pasar derivatif berlipat ganda, risiko spesifik perusahaan dan risiko sistemik. Kavaljit Singh dalam bukunya yang berjudul Taming Global Financial Flows, A Citizen’s Guide mengatakan bahwa, produk derivatif dalam skala global mulai berkembang dengan pesat pada tahun 1980an dan 1990an. Lebih lanjut Singh mengatakan tujuan dibuatnya produk derivatif sebagai instrumen yang bisa membantu mengurangi resiko (hedging) para investor  sejatinya tidaklah terwujud. Sebaliknya, ia justru menjadi salah satu sumber terbesar ketidakstabilan dan menyebabkan pasar global yang labil .
Apa yang diungkapkan oleh Singh di atas sejatinya juga berlaku bagi pasar modal secara keseluruhan. Sebab, Pada awal pemebentukannya, pasar modal adalah sebagai wadah bagi unit defisit (perusahaan) untuk bertemu dengan unit surplus (investor). Namun, dalam perkembangannya yang terjadi justru adalah terpisahnya antara dua unit tersebut. Dengan kata lain, yang bertemu tidak lagi antara perusahaan yang ingin mendapatkan modal dari para investor. Melainkan adalah pertemuan antara investor yang satu dengan investor lainnya untuk saling mengalahkan (memakan) lawannya dengan cara memanipulasi data atau informasi yang ada demi mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Stout juga berpendapat bahwa perdagangan spekulatif derivative adalah lebih berbahaya daripada perjudian karena para pemainnya menempatkan jumlah uang yang besar untuk dipertaruhkan dimana uang tersebut adalah bukan milik para pemain melainkan milik pihak ketiga seperti dana pension, pemegang deposito, dan pemegang saham. Dalam situasi ekonomi seperti ini, para pelaku di pasar derivative dihadapkan pada tingginya tingkat ketidakpastian yang dapat membawa kehancuran pada karir mereka dan perusahaan. Oleh karenanya, Stout tetap meragukan apakah pasar derivative yang berkembang dengan pesat ini adalah pasar asuransi ataukah perjudian. Salah satu fitur utama sistem finansial global yang dianggap paling bertanggung jawab disini adalah derivatif .
Di tingkat mikro, derivatif telah berulangkali memicu krisis finansial. Kasus Barings dan Enron adalah salah satunya. Dan kini derivatif kembali memainkan peran besar dalam krisis finansial AS. Krisis yang bermula di pasar kredit subprime mortgage Juli 2007 ini, kini telah menyeret seluruh sistem keuangan dan bahkan perekonomian ke jurang kehancuran. Alasan terpenting mengapa krisis menyebar dengan cepat dan memicu gelombang besar kerugian massal adalah gelembung ekonomiu yang diciptakan oleh derivatif Kick-offnya adalah ketika bank-bank pemberi KPR beresiko tinggi (subprime mortgage) menjual hak tagih kredit mereka ke Federal Home Loan Mortgage Corporation (Freddie Mac) dan Federal National Mortgage Association (FNMA/Fannie Mae) agar aliran kredit perumahan oleh Bank dapat terus berjalan tanpa harus menunggu arus pelunasan kredit oleh nasabah. Dari tagihan kredit perumahan yang dibeli inilah Freddie Mac dan Fannie Mae kemudian membuat berbagai produk derivatif yaitu collateralized debt obligations (CDO). Kredit beresiko tinggi ini dikemas menjadi surat utang yang memberi imbal hasil menarik dengan jaminan peringkat creditworthiness yang baik. Di tengah rendahnya suku bunga dan kuatnya kondisi perekonomian AS saat itu, imbal hasil dari surat utang ini menarik berbagai lembaga keuangan dari seluruh dunia untuk membelinya.

Transakasi Valas: Kasus Indonesia
Sama halnya di Negara Lain di dunia, terjadinya transaksi derivatif berkembang pada pasar perdagangan uang dan khususnya pada jual beli valuta asing yang awalnya dilatar belakangi adanya fluktuatif nilai mata uang. Di Indonesia Transaksi yang terjadi di Pasar Modal terjadi di pasar primer dan pasar skunder. Pada transaksi yang terjadi di pasar sekunder lebih banyak terjadi transaksi derivative, yakni sebagai turunan dari transaksi lainnya (saham, obligasi dll). Kemerosotan perekonomian Indonesia pada tahun 1997, sebagian besar disebabkan karena para pengusaha nasional dan perbankan nasional berlomba-lomba untuk meminjam uang dari luar negeri dalam US$ atau mata uang asing lainnya, sehingga jumlah pinjaman luar negeri dalam waktu singkat membumbung tinggi secara tidak terkendali dan ternyata melampai ambang kemampuan untuk membayar kembali hutang luar negeri tersebut.
Derivatif yang terdapat di Bursa Efek adalah derivatif keuangan (financial derivatif). Derivatif keuangan merupakan instrumen derivatif, di mana variabel-variabel yang mendasarinya adalah instrumeninstrumen keuangan, yang dapat berupa saham, obligasi, indeks saham, indeks obligasi, mata uang (currency), tingkat suku bunga dan instrumen-instrumen keuangan lainnya. Instrumen-instrumen derivative sering digunakan oleh para pelaku pasar (pemodal dan perusahaan efek) sebagai sarana untuk melakukan lindung nilai (hedging) atas portofolio yang mereka miliki. Contohnya dengan margin 10% untuk transaksi US$ 1 juta, pembeli harus menyerahkan dana US$100.000. Dalam perbankan Indonesia, margin trading diatur dalam ketentuan BI dengan minimal cash margin 10%. Beberapa contoh yaitu: Pertama, Dalam sehari dealer maupun bank dapat melakukan transaksi ini berulang-ulang. Adapun penyelesaian pembayaran dan perhitungan untung-ruginya dilakukan secara netto saja. Dengan demikian transaksi valas yang dilakukan bukan untuk memilikinya, melainkan semata-mata menjadikannya sebagai komoditas untuk spekulasi.
Kedua, transaksi futures yaitu transaksi valas dengan perbedaan nilai antara pembelian dan penjualan future yang tertuang dalam future contracts secara simultan untuk dikirim dalam waktu yang berbeda. Misalnya, A dan B membuat kontrak pada 1 Januari 2008. A akan menjual US$ 1 juta dengan kurs Rp 9.350 per US$ pada 30 Juni 2008, tidak peduli berapa kurs di pasar saat itu. Di satu sisi transaksi ini dapat dipandang sebagai spekulasi, paling tidak berunsur maysir, meskipun disisi lain para pelaku bisnis pada beberapa kasus menggunakannya sebagai mekanisme hedging (melindungi nilai transaksi berbasis valas dari risiko gejolak kurs). Ketiga; transaksi option (currency option) yaitu perjanjian yang memberikan hak opsi (pilihan) kepada pembeli opsi untuk merealisasi kontrak jual beli valutaa asing, tidak diikuti dengan pergerakan dana dan dilakukan pada atau sebelum waktu yang ditentukan dalam kontrak, dengan kurs yang terjadi pada saat realisasi tersebut. Misalnya, A dan B membuat kontrak pada 1 Januari 2008. A memberikan hak kepada B untuk membeli dollar AS dengan kurs Rp 9.350 per dolar pada tanggal atau sebelum 30 Juni 2008, tanpa B berkewajiban membelinya. A mendapat kompensasi sejumlah uang untuk hak yang diberikannya kepada B tanpa ada kewajiban pada pihak B. Transaksi ini disebut call option. Sebaliknya, bila A memberikan hak kepada B untuk menjualnya disebut put option.
Transaksi option dapat menjadi lebih rumit. Misalnya A dan B membuat kontrak pada 1 Januari 2008. Perjanjiannya A menjual US$ 1 juta dengan kurs Rp 9.350 per dolar kepada B. Transaksi ini lunas. Pada saat yang sama A juga memberikan hak kepada B untuk menjual kembali US 1 juta pada tanggal atau sebelum 30 juni 2008 dengan kurs Rp 9.500 per dolar. Hal ini akan gugur dengan sendirinya bila kurs melebihi Rp 9.500 per dolar, itu pun bila syarat berikutnya terpenuhi. Keempat, adalah transaksi swaps (currency swap) yaitu perjanjian untuk menukar suatu mata uang dengan mata uang lainnya atas dasar nilai tukar yang disepakati dalam rangka mengantisipasi risiko pergerakan nilai tukar pada masa mendatang. Salah satu contoh transaksi swaps adalah bila bank A dan bank B membuat kontrak untuk bertukar deposito rupiah terhadap dolar pada kurs Rp 9.500 per dolar pada 1 Januari 2008. B menempatkan US$ 1 juta. A menempatkan Rp 9,5 miliar, terlepas dari kurs pasar saat itu.
Dalam berbagai kasus di Indonesia terhadap transaksi valas tersebut dibuatlah berbagai peraturan di Indonesia yaitu: Undang-undang dan peraturan yang membahas masalah valuta asing terdiri dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, selanjutnya Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/ 37 /PBI/2008 Tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. Peraturan terakhir ini menyebutkan bahwa transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah transaksi jual beli valuta asing terhadap rupiah dalam bentuk (1) transaksi spot, termasuk transaksi yang dilakukan dengan valuta today dan/atau valuta tomorrow;(2) transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah yang standar (plain vanilla) dalam bentuk forward, swap, option, dan transaksi lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu; (3) nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank; (4) kegiatan Ekspor/Impor adalah; (5) mengirimkan barang dan/atau jasa ke luar wilayah Indonesia (ekspor); (6) memasukan barang dan/atau jasa ke dalam wilayah Indonesia (impor). [Bab 1 (2)].

Transakasi Valas: Kasus Sudan
Sudan adalah sebuah bangsa yang memilik dinamika dan warna penerapan Syari’ah. Setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris 1956 , Sudan secara de jure menjadi sebuah negara berdaulat. Negara ini berada di benua Afrika terletak di ujung gurun sahara, berbatas dengan Mesir di sebelah Utara, dengan Libiya dan Republik Afrika Tengah di sebelah Barat, dengan Zaire, Uganda dan Kenya di Selatan, dan dengan Ethiopia, Eriteria dan Laut Merah di sebelah Timur. Dengan posisi sedemikian, Sudan rentan dari pengaruh-pengaruh eksternal negara-negara yang berbatasan dengannya tersebut. Negara ini tergabung kedalam negara-negara Arab dan Islam yang memiliki wilayah sangat luas (sekitar 2.506.000 km2) dengan sebagian besar dari wilayahnya padang pasir yang tandus, yang membentang luas dari perbatasan Mesir. Daerah yang subur hanya sekitar sungai Nil, kedua sungai ini, Nil putih dan merah bertemu di ibu kota Sudan, Khartoum .
Potret penerapan Syari’ah mulai dapat terlihat secara nyata di Sudan di era kontemporer (tahun 1970-an), terutama sejak masa pemerintahan Presiden Numeiri aktifitas perekonomian dibangun berdasarkan syari’ah. Aplikasi Syari’ah yang bernuansa hukum positif mulai meluas tahun 1983 dan lebih ekstensif sejak 1989 dengan perluasan keterlibatan legal antara Syari’ah sebagai hukum positif dan pelanggaran hak-hak rakyat . Lapidus menilai bidang ekonomi, bahwa Sudan telah melaksanakan program islamisasi Bank dan lembaga keuangan negara (1978-1983) dengan memberikan pemotongan pajak bagi Bank Islam serta kebebasan dari supervisi. Bank Sentral sudan, melalui Bank dan perusahaan asuransi Islam, pemerintah, dalam hal ini oleh suatu wadah yang bernama Front Islam Nasional (The National Islamic Front / NIF), NIF, mampu mengakumulasi dana yang sangat besar dan mentransfernya secara bebas di dalam dan luar negeri. Pasar uang dan pasar modal dan derivatif instrumentnya dibangun dalam konsep syari’ah yang ketat.
Sudan tidak membangun konstruk perbedaan kecuali pengayaan Indeks Islam yang ditunjukkan pergerakan harga-harga saham dari emiten yang dikatagorikan sesuai syariah dengan mensortir secara ketat seluruh saham yang tercatat di bursa penilaian halal haram, bukan sekedar saham emiten yang terdaftar (listing) sudah sesuai aturan yang berlaku (legal) namun sampai pada uji kelayakan . Sebagai contoh, ketika industri perhotelan akan go public, maka tim perbankan akan melakukan uji kelayakan, dan melakukan penangkapan tanpa pengadilan pada hal-hal yang melanggar nilai-nilai syari’at yang sudah diterapkan di Sudan.
Indeks Islam di Negara Sudan sangat menegaskan aspek halal haram, dan memiliki hukum tegas terhadap emiten yang menjual sahamnya di bursa bergerak di sektor usaha yang bertentangan dengan Islam atau yang memiliki sifat merusak kehidupan masyarakat. Dalam pasar modal syariah, instrumen yang diperdagangkan adalah saham, obligasi syariah dan Reksa Dana Syariah, sedangkan opsi, warant dan right tidak termasuk instrumen yang dibolehkan. Dalam konteks pasar modal di negara Sudan, sangat menentang transaksi ribawi, transaksi yang meragukan (gharar), dan saham perusahaan yang bergerak pada bidang yang diharamkan. Pasar modal syariah juga harus bebas dari transaksi yang tidak beretika dan amoral, seperti manipulasi pasar, transaksi yang memanfaatkan orang dalam (insider trading), menjual saham yang belum dimiliki dan membelinya belakangan (short selling). Karenanya dalam berbagai literatur pendidikan di bidang ekonomi, Negara sudan menekankan pendidikan etika ekonomi seperti aspek-aspek bersih dari unsur riba (freedom from al-riba), gharar (excessive uncertainty), al-qimar/judi (gambling), al-maysir (unearned income), manipulasi dan kontrol harga (price control and manipulation), darar (detriment) dan tidak merugikan kepentingan publik (unrestricted public interest), juga harga terbentuk secara fair (entitlement to transact at fair price) dan terdapat informasi yang akurat, cukup dan apa adanya (entitlement to equal, adequate, and accurate infromation).
Untuk perdagangan Derivatif/Option yang bersifat penyertaan maupun utang, masih terjadi perdebatan di Negara Sudan, terutama tingkat resiko yang mengundang spekulatif. Hal ini terkait dengan nilai-nilai sufisme di negara Sudan ditengah pembangunan negara Sudan yang mengalami pasang surut politik internal, membuat pemerintah dan pengusaha sangat hati-hati terhadap peluang kerugian besar jika gagal. Hal yang paling menarik, kelompok Barat yang mengagungkan kapitalis sangat menghormati prinsip ekonomi Sudan, ini terbukti dengan ditandatanganinya berbagai perjanjian ekonomi, salah satunya perjanjian damai dengan SPLM/A (Sudan People Liiberation Movement / Army) pimpinan John Garang yang didukung penuh oleh Barat dan pada akhirnya tingkat pertumbuhan ekonominya sangat menakjubkan . Untuk tahun 2008-2009, Sudan berhasil mencapai angka pertumbuhan hingga 11.5 %.

Simpulan Awal
Dengan mendasarkan pada argumentasi antara yang pro dan kontra terhadap perdagangan derivative, serta kajian komparasi bisa ditarik kesimpulan bahwa saat ini paling tidak ada dua tujuan utama dari perdagangan derivative yaitu perlindungan (hedging) dan spekulasi. Secara khusus dapat dipahami bahwa pada awalnya derivative timbul dengan tujuan untuk melindungi perusahaan dari ketidakpastian atau fluktuasi ekonomi akibat dilakukannya transaksi bisnis. Dengan kata lain, tujuan utama derivative pada awalnya adalah untuk hedging. Hal ini berarti perusahaan dapat mengurangi risiko dari transaksi bisnis dengan mematok hal-hal tertentu (benchmark) seperti kurs sehingga jika suatu saat nanti terjadi fluktuasi yang tajam atas benchmark (misalnya kurs) kondisi Keuangan perusahaan akan tetap stabil karena telah dipatok sebelumnya. Oleh karenanya perusahaan dapat memfokuskan sumber dayanya untuk aktivitas lain yang lebih berguna daripada sekadar berkonsentrasi mengawasi fluktuasi benchmark.
Krisis ekonomi di dunia, khususnya di Indonesia, tahun 1997 memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi para pelaku ekonomi tentang kebijakan hedging. Di saat kurs rupiah terhadap USD terjun bebas dari sekitar 1 USD=Rp2.500 ke 1 USD=Rp 11.000 – Rp15.000, banyak perusahaan di Indonesia yang memiliki hutang luar negeri dalam bentuk USD mengalami krisis keuangan karena nilai hutangnya melonjak hingga 6 kali lipat sehingga jumlah bunga yang harus dibayar membengkak. Sementara itu, perusahaan yang melakukan hedging atas kurs hutang luar negerinya selamat karena mereka tidak perlu membayar bunga hutang dengan kurs pasar saat itu melainkan cukup membayar bunga sesuai dengan kurs yang telah disepakati pada saat transaksi hedging sebelum terjadinya krisis.
Di sisi lain dapat dilihat bahwa saat ini tidak sedikit pemain di pasar uang yang melakukan perdagangan derivative dengan tujuan untuk mencari keuntungan yang luar biasa besar dalam jangka waktu yang pendek (spekulasi). Perusahaan yang melakukan spekulasi di perdagangan derivative bisa saja meraih keuntungan yang luar biasa besar dalam waktu yang singkat, seperti halnya yang terjadi pada Bank Barings sebelum bangkrut. Namun, perusahaan juga bisa mengalami kerugian yang sangat besar dalam waktu yang singkat akibat berspekulasi di pasar derivative. Dengan kata lain, uang yang berasal dari perdagangan derivative adalah “easy come, easy go” sama halnya seperti dalam perjudian. Selain itu, seringkali perusahaan tidak mengungkapkan hal ini kepada pemegang saham karena pada saat perusahaan menangguk keuntungan yang besar dari perdagangan spekulatif derivative biasanya pemegang saham tidak menanyakan atau tidak perduli dari mana datangnya keuntungan besar tersebut. Pemegang saham biasanya baru menyadari adanya perdagangan spekulatif derivative yang berisiko besar jika perusahaannya menanggung rugi akibat perdagangan derivative tersebut.
Secara umum dasar dan transaksi valas terletak pada katagori transaksi tunai (spot), jual putus (one shot deal), atau menggunakan tenggang waktu pada saat pertukaran mata uang yang mengalami fluktuasi sebagai salah satu cara melakukan spekulasi. Beberapa ulama menilai kriteria ‘tunai’ atau ‘kontan’ dalam jual beli yang dikembalikan kepada kelaziman pasar yang berlaku meskipun hal itu melewati beberapa jam penyelesaian (settelment-nya) karena proses teknis transaksi. Harga atas pertukaran itu dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli atau harga pasar (market rate). Selanjutnya, terjadi Perbedaan Transaksi Valas didasarkan pada persoalan apakah transaksi ini mengandung riba atau tidak, dan apakah riba hanya berlaku pada enam komoditi ribawi (yaitu emas, perak, gandum, sya’ir, kurma dan garam) atau bisa juga berlaku pada komoditi yang lain. Dari hal tersebut kemudian berkembang dalam perbedaan: ’illah hukum valas, proses aktifitas transaksi valas, dan akad valas
Menurut prinsip ekonomi Islam, jual beli mata uang yang disetarakan dengan emas (dinar) dan perak (dirham) haruslah dilakukan dengan tunai/kontan (naqdan) agar terhindar dari transaksi ribawi (riba fadhl), sebagaimana dijelaskan hadits mengenai jual beli enam macam barang yang dikategorikan berpotensi ribawi. Titik temu Dalam transaksi valas ini titik temu terletak kepada penilaian atas kesesuai dengan prinsip-prinsip dasar norma bisnis yakni diantaranya ketiadaan spekulasi (gambling) yang mendorong aktivitas bisnis yang tidak produktif dan transaksi ribawi yang mengakibatkan eksploitasi ekonomi oleh para pemilik modal (riba nasi’ah dan jahiliyah) atau yang tidak menumbuhkan sektor riil melalui perdagangan dan pertukaran barang sejenis yang ribawi (riba fadhl) sebagaimana yang terjadi pada transaksi trading instrumen derivatif di pasar sukunder terutama dengan underlying valas yang berpotensi memandulkan pertumbuhan ekonomi yang hakiki.
Titik temu dalam praktik transaksi valas dalam upaya untuk menghindari penyimpangan syariah, maka kegiatan transaksi dan perdagangan valuta asing (valas) harus terbebas dari unsur riba, maysir (spekulasi gambling) dan gharar (ketidak jelasan, manipulasi dan penipuan). Oleh karena itu jual beli maupun bisnis valas harus dilakukan dalam secara kontan (spot) atau kategori kontan. Motif pertukaran itupun tidak boleh untuk spekulasi yang dapat menjurus kepada judi/gambling (maysir) melainkan untuk memebiayai transaksi-transaksi yang dilakukan rumah tangga, perusahaan dan pemerintah guna memenuhi kebutuhan konsumsi, investasi, ekspor-impor atau komersial baik barang maupun jasa (transaction motive). Disamping itu perlu dihindari jual-beli valas secara bersyarat dimana pihak penjual mensyaratakan kepada pembeli harus mau menjual kembali kepadanya pada periode tertentu dimasa mendatang, serta tidak diperkenankan menjual lagi barang yang belum diterima secara definitif (Bai’ Fudhuli).
Transakasi valas tidak dapat lepas dari perkembangan mata uang suatu negara tidak terkecuali di Indonesia dan negara Sudan sebagai kajian makalah ini. Dalam prosesnya transakasi valas mengalami berbagai dinamika yang kesemuanya bermuara kepada pengendalian variabel-variabel ekonomi untuk menciptakan stabilitas kurs valas, dan untuk itu pemerintah dituntut untuk menciptakan kebijakan-kebijakan yang tepat dalam menciptakan indikator-indikator fundamental ekonomi yang mendukung bagi terciptanya stabilitas dan keterjangkauan kurs valas. Seiring dengan hal tersebut Islam telah memberikan rambu-rambu bertransaksi yang seharusnya menjadi kewajiban para pelaku valas untuk membantu stabilitas keuangan dengan menggunakan konsep transaksi berbasis syari’ah. Apabila aktifitas valas sudah dilakukan dalam nilai-nilai syari’ah, maka kejujuran dan kekuatan transaksi valas di Indonesia dapat dijadikan contoh bagi negara-negara lain.. Pada simpulan awal ini, dalam berbagai dunia muslim khususnya tetap saja “Akan terjadi bencana keuangan di masa depan yang diakibatkan oleh penggunaan instrument keuangan yang tidak bijak”.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Abdul Hamid Muhammad, al-Syi’ir wa al-Mujtami’ fi al-Sudan. Khartoum, Sudan: Dar al-Wa’yi, 1987
Al-Nabhânî, Taqî al-Dîn, Al-Nižâm al-Iqtişâdî Fî al-Islâm, Beirût: Dâr al- Ummah, 1990.
Marţân, Madkhal li al-fikr al-iqtişâdî fî al-Islâm.
Basyaib, Fachmi. Manajemen Resiko, Jakarta: Grasindo, 2007
Berlianta, Heli Charisma. Mengenal valuta asing. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2005
DeRosa, David F , Options on foreign exchange, New York: John Wiley, 2000.
Jorge Iván Canales-Kriljenko; Roberto Guimarães; Shogo Ishii; Cem Karacadag, Official foreign exchange intervention, Washington, DC : IMF, 2006.
European Economic Community, Sudan. Great Britain, Agreement Between The European Economic Community And The Democratic Republic Of Sudan On The Supply Of Skimmed Milk Powder As Food Aid, Brussels, 20 February 1975, London : H.M.S.O.,1975.
Haim Shaked, Middle East Contemporary Survey, Jilid 11.
Johan, Carl, Lindgrenrnational Monet, Gillian Garcia, and Matthew, Bank Soundness and Macroeconomic Policy. International Monetary Fund, 1996, h. 115
Judokusumo, Suhedi, Derivatif dalam Moneter Internasional, Jakarta: Grafindo, 2007/
Karim, Adiwarman, Bank Islam: Analisa Fiqh dan Keuangan Jakarta: The International Institute of Islamic Thought 2003.
Lapidus, Ira M. “Islam in Sudanic, Savannah, and Forest West Africa” dalam A History of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge University Press, 1988).
Marţân, Sa’îd Sa’ad, Madkhal li al-fikr al-iqtişâdî fî al-Islâm, Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1999, cet. 3,
Muzadi, Hasyim, “Spirit Sufisme: Kasus Sudan” dalam Spirit Sufisme Dalam Sistem Pemerintahan Obsesi Moralitas Anti Korupsi, dikutip dari http://www.setneg.go.id
Nugraha, Ubaidillah, Catatan Keuangan Dan Pasar Modal. Jakarta : Elex Media Komputindo, 2008
Prasetiantono, A Tony, Keluar Dari Krisis : Analisis Ekonomi Indonesia, h. 56
Rae, Dian Ediana, Transaksi Derivatif Dan Masalah Regulasi Ekonomi Di Indonesia, Jakarta : Elex Media Komputindo 2008
Safwat, Safiya, “Islamic Law in Sudan” dalam Aziz el-Ezmeh, Islamic Law: Social and Historical Contects, London dan New York, Routledge 1988.
Singh, Kavaljit. Taming Global Financial Flows, A Citizen’s Guide (Menjinakkan Arus Keuangan Global), Jakarta: INFID, 2005
Sunaryo, Manajemen Resiko Finansial, Jakarta: Salemba Empat, 2007.
Tambunan, Tulus, Perekonomian Indonesia: Teori Dan Temuan Empiris, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2001
Walmsley, Julian , New Financial Instruments, New York : Wiley, 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar