Senin, 07 Februari 2011

PENDIDIKAN EFISIENSI: SEBUAH PENDEKATAN BUDAYA MASYARAKAT BELAJAR

Oleh: Heri Junaidi

Abstrak
Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Dalam beberapa kasus globalpun masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Ada dua isu yang sering mengemuka. Pertama isu tentang sistem penilaian dikaitkan dengan masalah mutu pendidikan serta sistem penerimaan siswa/mahasiswa baru dikaitkan dengan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan atau demokratisasi pendidikan. Kedua isu ini (kualitas dan kuantitas) saling terkait dan erat kaitannya dengan dana pendidikan yang tersedia. Untuk mewujudkan proses pembelajaran agar menghasilkan sumber daya yang bermutu memerlukan dana yang besar, terutama pengadaan alat-alat dan tenaga kependidikan. Sementara untuk memperbanyak daya tampung, diperlukan dana yang banyak membangun gedung atau ruang-ruang kelas baru. Oleh karena itu dana untuk pembiayaan penyelenggaraan pendidikan serta sistem penilaian hasil belajar masih merupakan isu dalam membangun pendidikan efisiensi dalam melakukan pendekatan budaya belajar.

Kata Kunci: Pendidikan efisiensi, Budaya, Masyarakat Belajar

Pengantar
Asumsi dasar tulisan ini bahwa budaya Pendidikan pada umumnya kurang menunjang terhadap perwujudan pendidikan yang bermutu. Hal ini tidak lepas dari sikap sentralistik komunitas dunia pendidikan yang lebih berpengaruh daripada konsep desentralisasi wewenang yang dianggap masih dianggap sulit dalam implementasi. Hal demikian tentu merupakan rintangan terhadap perubahan budaya pendidikan yang diperlukan untuk memperoleh mutu pendidikan yang lebih tinggi. Pada sisi yang sama gelombang globalisasi yang ditandai dengan kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan Negara lain.
Dalam perspketif apapun pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Dalam beberapa kasus globalpun masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal (Salim, 2007, hlm. 147; Zuhal, 2008, hlm.17. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang. Pada aras ini, pendidikan efisiensi menjadi salah satu alternatif yang mungkin bisa menjadi kontribusi.

Memaknai Pendidikan Efisiensi
Pendidikan Efisiensi dalam makalah ini adalah merupakan jawaban atas pertanyaan tentang Out put apa dengan sumber daya lembaga yang tersedia, hasil out put untuk siapa (for whom). Asumsi tersebut bernilai bahwa usaha dalam pengembangan kependidikan didasarkan atas maqâshid dan setiap penggunaan yang menggagalkan realisasi maqâshid harus dipandang sebagai kesia-siaan dan inefisiensi. Dalam filosofis pendidikan efisiensi, katagori fasilitas bukan hanya berupa modal pergedungan dan modal tenaga kependidikan, tetapi juga bentuk-bentuk modal lainnya yang diketemukan dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu modal sosial (nilai-nilai keutamaan), modal kultural (kreativitas dan estetika), modal intelektual (teknologi dan informasi) dan modal spiritual (keyakinan dan semangat) [Sarkanputra, 2009, hlm. 6). Efisiensi atas modal-modal tersebut telah membebaskan dalam sistem pendidikan kapitalis yang hanya mengenal modal kelembagaan dan kependidikan saja.
Dalam perspektif lain, Efisiensi merupakan aspek yang sangat penting dalam manajemen sekolah, karena sekolah pada umumnya dihadapkan pada masalah kelangkaan sumber dana, dan secara langsung berpengaruh pada kegiatan proses belajar mengajar. Efisiensi lebih ditekankan pada perbandingan antara input atau sumber daya dengan output. Suatu kegiatan dikatakan efisien jika tujuan dapat dicapai secara optimal dengan penggunaan sumber daya yang minimal (Mulyasa, 2000, hlm. 6). Dikatakan pendidikan efisiensi jika ditemukan cara untuk menghasilkan tingkat prestasi siswa yang maksimal dari sejumlah sumberdaya yang ada untuk digunakan. Tingkat prestasi yang tinggi suatu sekolah kemungkinan efektif tetapi tidak efisien jika dalam menggunakan input-input sekolah secara berlebihan. Disisi lain suatu sekolah tidak mampu memanfaatkan sebaik mungkin input- input yang ada dengan mempertimbangkan keefisienan, tetapi tidak efektif karena tingkat prestasi siswa yang tidak mencukupi (Ray, 1991, hlm. 32).
Dalam perspektif tersebut, pengukuran efisiensi tidak akan menghadapi banyak kendala jika suatu lembaga pendidikan hanya memiliki satu input dan satu output dalam proses produksinya. Realitas dilapangan jarang dijumpai karena sekolah biasanya memerlukan multi input dan menghasilkan multi output. Pengukuran efisiensi teknis yang mengutamakan multi input-output akan memberi konstruk baru pada pengukuran kinerja sekolah dan dapat menjelaskan kinerja sekolah secara riil. Dengan ditemukannya faktor penyebab ketidakefisienan, maka dapat dilakukan kebijakan koreksi yang digunakan untuk meningkatkan kualitas output sekolah. Hasil riset Booz-Allen dan Hamilton yang menempatkan Indonesia pada posisi paling bawah dari 9 negara responden mengenai indek pendidikan efisiensi di Asia.
TABEL 1.2
INDEKS EFISIENSI DAN INDEX GOOD GOVERNANCE DI ASIA
No Negara Indeks
Good Indeks Efisiensi Klasifikasi
1 Singapura 8.93 10.00 Tinggi
2 Jepang 8.91 10.00 Tinggi
3 Hongkong 8.91 10.00 Tinggi
4 Malaysia 7.72 9.00 Sedang
5 Taiwan 7.37 6.75 sedang
6 Kore Selatan 5.50 6.00 Sedang
7 Filipina 3.47 4.75 Rendah
8 Thailand 4.89 3.25 Rendah
9 Indonesia 2.88 2.50 Rendah
Sumber : Manulang (2002, hlm 54-55) Dikutip dari M. Ikhwan, 2004, hlm. 5
Dari tabel 1.2, Bila indeks 8-10 adalah efisiensi tinggi, 5,0 sampai 7,9 adalah efisiensi sedang dan kurang dari 5 adalah efisiensinya rendah, hal ini berarti negara Indonesia bila dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, pendidikan di Indonesia efisiensinya yang paling rendah. Hal yang sama juga terjadi pada index good governance. Ketidakefisienan dunia pendidikan di negara Indonesia berhubungan dengan kualitas pendidikan di Indonesia secara umum. Rendahnya indeks good Governance di Indonesia menggambarkan bahwa pelayanan publik di Indonesia belum diberikan secara prima. Dari kedua hal tersebut mengidentifikasikan bahwa upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia berjalan lamban. Lambatnya proses ini terkait dengan pelaksanaan good Governance yang rendah, yang mengidentifikasikan bahwa manajemen pendidikan di Indonesia berjalan kaku (Ikhwan, 2004, hlm. 4-5).
Dalam kontruk pendidikan efisiensi telah dibangun berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam rangka memperbaiki kualitas pendidikan. Upaya tersebut diantaranya adalah digulirkannya model Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dari Kementrian Pendidikan Nasional , alokasi dana peningkatan mutu yang dikenal dengan nama BOMM, peningkatan alokasi anggaran beasiswa melalui bantuan khusus murid (BKM), penambahan kesejahteraan guru melalui bantuan khusus guru (BKG), mulai diterapkan kurikulum barn yang berbasis kompetensi secara bertahap pada tahun 2004, serta amandemen UUD 45 yang mengamanatkan alokasi anggaran pendidikan minimal 20% dari total APBN dan APBD.

Realitas Pendidikan Efisiensi di Indonesia
Pemaknaan yang hampir sejalan terhadap pendidikan efisiensi adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna. Realitas di lapangan memperlihatkan tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan.
Problem tersebut semakin mengkristal dengan pendapat yang beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi. Asumsi seperti itu yang menyebabkan pendidikan efisiensi di Indonesia sangat rendah.
Pada ghalibnya setiap orang mempunya kelebihan di bidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain. Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan di bidang sosial dan dipaksa mangikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia.
Salah satu yang menjadi acuan adalah masalah gengsi yang ikut membangun rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia. Banyak hal di dunia ini yang menggambarkan penyimpangan dari sintesis umum. Logika mengatakan misalnya semakin murah harga barang yang dijual maka akan semakin laku dagangan tersebut. Berdasarkan contoh tersebut di atas, maka teori tersebut tidaklah selalu berlaku dalam situasi tertentu. Semakin menguntungkan suatu usaha mungkin semakin banyak diminati orang. Sintesis ini juga tidak selamanya benar. Ambil contoh dalam kasus menabung di bank. Mengapa orang yang menabung di BKK atau koperasi sangat terbatas? Padahal di situ lebih banyak memberikan keuntungan jika dilihat dari suku bunga tabungan. Sementara mengapa semakin hari semakin banyak nasabah BCA yang justru memberikan suku bunga yang relatif lebih kecil. Kenapa bisa demikian? Gejala tersebut adalah sebagai akibat bertambahnya kesejahteraan manusia. Ketika kebutuhan primer sudah tercukupi, maka manusia cenderung akan mengejar kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih tinggi tingkatnya.
Terpenuhinya setiap hak dasar kebutuhan ekonomi bagi manusia adalah suatu keharusan (dharûriyah), sebagai indikator dari wujud ‘kesejahteraan’ minimal; dan juga sebagai perangkat perantara untuk menghadirkan suatu ‘masyarakat sejahtera’ yang menjadi tujuan dari setiap usaha pembangunan. Oleh karenanya pembangunan terkait dengan pemenuhan setiap kebutuhan pada skala tersebut harus menjadi prioritas utama, sebelum pembangunan pada sektor-sektor yang memproduksi kebutuhan bersifat skunder. Jika kebutuhan dharûriyah (primer) merupakan ‘hak dasar kebutuhan’ setiap individu (Saifullah, 2009, hlm. 60). Menurut Abraham Maslow manusia mempunyai lima kebutuhan yang membentuk tingkatan-tingkatan atau disebut juga hirarki dari yang paling penting hingga yang tidak penting dan dari yang mudah hingga yang sulit untuk dicapai atau didapat. Motivasi manusia sangat dipengaruhi oleh kebutuhan mendasar yang perlu dipenuhi. Dalam konsep Islam maşlahah sebagai tujuan dari maqâşid syarî’ah yang menjamin keselamatan al-dharûriyât al-khams terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu: kebutuhan ekonomi pada skala dharûriyah, hâjiyah dan tahsîniyah sebagai kebutuhan skunder. Pertama, dharûriyât: sebagai maslahat pokok dan paling dasar bagi kehidupan manusia, baik secara agama maupun kehidupan dunia; ketiadaan maslahat tersebut, merusak sendi kehidupan, hilangnya kenikmatan abadi dan akan menuai azab di akhirat kelak Kedua, hâjiyât: ketiadaan maslahat ini, atau tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi pada skala hâjiyah, tidak menyentuh eksistensi keberadaan hidup manusia, tapi hanya menyebabkan kesulitan dalam hidup, juga tidak menimbulkan masalah atas maslahat pokok, sifatnya hanya untuk memenuhi kesenangan dan kenyamanan hidup. Ketiga, tahsîniyât: berkenaan dengan kemewahan hidup, berada pada tingkatan kepentingan setelah dua maslahat di atas (Syatibi, jld. 1, hlm. 38).
Hubungan dengan gengsi dan harga diri yang sekarang sudah merupakan kebutuhan pokok yang ke-2 setelah kebutuhan pokok terpenuhi. Gengsi juga merasuk dalam dunia pendidikan. Contoh sederhana dengan cara menumbuhkan gengsi dengan cara membangun sekolah yang mewah, berkualitas, disiplin tinggi dan mahal. Ketika pendidikan efisiensi itu terbentuk dalam struktur yang benar, maka akan menghasilkan out put yang berdaya guna, namun ketika fasilitas mewah itu sebagai kerangka mencari peminat namun kemudian terjadi perebutan kekuasan internal maka pendidikan efisiensi menjadi tatanan teori dan simbol-simbol balighah yang tidak menghasilkan nilai. Mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang lembaga kependidikan yang berproses secara efisien.
Pengelola pendidikan menawarkan berbagai daya tarik pada orang tua calon siswa sebagai customer. Di antara konsep pendidikan “menarik” yang merupakan bumbu penyelenggaraan pendidikan tersebut, antara lain: (1) Multiple Intelligence; (2) Flash Card Glen Doman; (3) Brain Based Learning; (4) Neuro Learning Process; (5) Quantum Learning; (6) Brain Gym; (7) The Golden Age Period; (8) Mozart Effect; (9) Early Intervention and Early Child Education. Pergeseran ini terjadi seiring dengan perilaku masyarakat dalam memandang pendidikan. Pendidikan yang sebelumnya merupakan kebutuhan sekunder telah dipandang sebagai kebutuhan utama. Dalam hal memenuhi kebutuhan utamanya ini, masyarakat memilih sesuai dengan kemampuan yang sangat terkait dengan ekonomi untuk memperoleh kualitas layanan yang setinggi-tingginya. Hal ini menciptakan kultur elitisme di kalangan sekolahsekolah “noble industry” tersebut. Padahal masyarakat banyak, mahalnya biaya pendidikan seringkali masih merupakan problem yang tak terpecahkan.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat. Mahalnya sebab tidak hanya berbicara tentang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang dipilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Ada dalam pendidikan formal yang membuat jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00. Hal tersebut jelas tidak mengajarkan pendidikan efisien, karena peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, bimbingan. Pendidikan efisiensi dari aspek mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih. kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya seorang yang memiliki kompetensi di bidang matematika namun mengajar biologi, atau bahasa Indonesia. Alih-alih pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.
Pendidikan efisiensi tidak muncul juga pada aspek kurikulum yang selalu berubah-rubah kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, dari teacher centred ke student centred. Apalagi pelatihan untuk hal tersebut tidak tersosialisasi secara merata dan berhubungan dengan cost biaya pendidikan yang ditetapkan terbatas. Dalam pengalokasian pembiayaan pendidikan di Indonesia, hasil riset Sabiran menunjukan adanya kecenderungan perbedaan pola pembiayaan pendidikan. Perbedaan pola ini menyebabkan penyebaran mutu sekolah antara sekolah negeri dan swasta menjadi timpang. Perbedaan antara sekolah yang tergolong baik dengan sekolah yang tergolong sedang dapat dilihat dari sumber dana yang diperoleh.
Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa adanya ketidakmerataan dalam sistem pengalokasian dana pada sekolah negeri dan sekolah swasta antara lain (1) pengeluaran gaji untuk sekolah negeri relatif tidak ada perbedaan, sedangkan disekolah swasta bebeda antara sekolah kategori balk dan kategori sedang; (2) pengeluaran untuk proses belajar mengajar disekolah negeri kategori baik cukup besar, sedang disekolah swasta kategori baik lebih besar dibandingkan dengan sekolah swasta dengan kategori sedang; (3) pengeluaran untuk sarana prasarana disekolah negeri kategori balk cukup besar, sedang disekolah swasta dengan kategori sedang pengeluaran sarana prasaranya justru lebih besar; (4) pengeluaran ekstrakurikuler lebih banyak disekolah dengan kategori cukup, terutama di sekolah swasta.
Secara umum pengeluaran untuk gaji mendapat porsi paling besar dan hanya sebagian kecil untuk pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, proses belajar mengajar dan kegiatan pengembangan siswa yang berdampak pada mutu pendidikan. Pola pembiayan dari pemerintah yang masih timpang dan diskriminatif, terlihat dan perbedaan biaya langsung atau tidak langsung yang dibayarkan oleh orang tua siswa ke sekolah. Orang tua siswa membayar lebih banyak bagi anak-anak yang sekolah di sekolah swasta, dibandingkan dengan sekolah negeri. Dalam konstruknya pendidikan efisiensi bisa disebut juga sebagai upaya pemberdayaan maksimal civitas akademik dan stakeholder berpegang pada asas kebersamaan, kekeluargaan, kerjasama. Capaian-capaian tersebut ditransformasikan menjadi solidaritas pengembangan lembaga pendidikan. ketidak-efisiennya, berarti civitas akademik dalam wilayah masing-masing kerja dianggap tidak hanya akan merusak sumber-sumber daya yang telah disediakan sebagai suatu bentuk amanah, melainkan juga menimbulkan ketidakadilan kepada para siwa dan stakeholder.
Selanjutnya, menimbulkan pertanyaan pula apakah strategi yang dilakukan dalam pelaksanaan pendidikan efisiensi dapat lebih memberi makna well being yang lebih mapan, dengan ukuran-ukuran (performance criteria) barunya seperti ”alumni yang siap masuk kejenjang lebih tinggi, ”pemenuhan kebutuhan pokok sebagai seorang pelajar”, ”peningkatan kualitas kehidupan” (quality of life), ”pembangunan manusia” (human development), ataupun bagaimana transformasi ilmu dari yang didapat di satu lembaga dapat berdaya guna di masyarakat dan dunia kerja. Efisiensi dapat pula mengukur kemampuan pendidikan untuk menghasilkan output dengan mempertimbangkan input yang digunakan. Dalam pendidikan sekolah dasar dan menengah, tingkat efisiensi mengukur kemampuan usaha tersebut dalam menjalankan fungsi intermediasinya. Pendidikan efisien merupakan untuk menciptakan mashlahah yang optimum bagi konsumen atau bagi manusia secara keseluruhan (Sarkaniputra, 2004, hlm. 6)


Menakar Solusi Konstruktif
Islam memberikan rambu-rambu nilai-nilai pendidikan efisiensi dimana pendidikan menjadi wasi>lah al-haya>t dengan dasar bahwa Dunia ini, semua harta dan kekayaan sumber-sumber adalah milik Allah dan menurut kepada kehendak-Nya (QS.al-Baqarah[2]:6; QS. Al-Mâidah [5]:120). Manusia sebagai khalifah-Nya hanya mempunyai hak khilafat dan tidak absolut dan wajib melaksanakan hukum-hukumnya, serta menjauhi larangannya. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif dan hanya sebatas untuk melaksanakan amanat mengelola dan memanfaatkannya sesuai dengan ketentuannya (Q.S. al-Hadi>d [57]:7). Mereka yang menyatakan pemilikan eksklusif tidak terbatas berarti ingkar kepada kekuasaan Allah (Mahmud, 2005, hlm. 413).
Dalam bahasa Einstein, manusia tidak mampu menciptakan energi, yang mampu manusia lakukan adalah mengubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi lain. Syari’at mengajarkan bahwa harta hanya sebagai perhiasan, dan manusia sebagai salah satu makhluk yang berasal dari substansi yang sama memiliki perasaan dan sikap untuk menguasai dan menikmati harta dengan tidak berlebih-lebihan (QS. Ali Imra>n [3]: 14). Sedangkan perbedaan jumlah harta tidaklah menunjukkan tingkat kedekatan kepada Allah Swt. perbedaan terletak pada ketaqwaan, dan perbuatan amal salehnya. (Q.S.Al-Baqarah [2]:213; QS. Al-Mu’mi>n [40]:13). Sedangkan, ketidakmerataan karunia nikmat dan kekayaan sumber-sumber ekonomi kepada perorangan maupun bangsa adalah kuasa pula, agar mereka diberi kelebihan untuk menegakkan sikap egalitarian yakni pandangan dimana manusia itu mempunyai harkat dan martabat yang sama sesuai dengan Allah berikan, yaitu predikat mulia terhadap seluruh umat manusia (Abdurrahman, 2003, hlm. 74).
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain (Davis, 1994, hlm. 66-67). Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk ikut serta dalam belajar. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah, karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti belajar. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam membangun yang diimplementasikan dalam setiap masa (Morris, 1991, hlm. 225; Smith, 2007, hlm. 62-63).
Dalam membangun hak dan kewajiban dalam pendidikan efisiensi menetapkan batas-batas tertentu terhadap perilaku manusia sehingga menguntungkan individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainnya. Alam semesta, termasuk manusia, adalah milik Allah, yang memiliki kemahakuasaan (kedaulatan) sepenuhnya dan sempurna atas makhluk-makhluk-Nya (Wawla, 1998, hlm. 321). Manusia, tanpa diragukan, merupakan tatanan makhluk tertinggi diantara makhluk-makhluk yang telah dicipta¬Nya, dan segala sesuatu yang ada di muka bumi dan di langit ditempatkan di bawah perintah manusia. Dia diberi hak untuk memanfaatkan semuanya ini sebagai khalifah atau pengemban amanat Allah. Manusia diberi kekuasaan untuk melaksanakan tugas kekhalifahan ini dan untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuannya dari barang-barang ciptaan Allah ini dengan berpijak pada nilai-nilai hak dan kewajiban (Ayub, 2007, hlm. 25) .
Status khalifah berlaku umum bagi semua manusia, termasuk para pelaku dunia pendidikan; tidak ada hak istimewa bagi individu atau bangsa tertentu sejauh berkaitan dengan tugas kekhalifahan itu. Namun ini tidak berarti bahwa umat manusia selalu atau harus memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keuntungan dari alam semesta itu. Mereka memiliki kesamaan hanya dalam kesempatannya, dan setiap individu bisa mendapatkan keuntungan itu sesuai dengan kemampuannya. Individu-individu dicipta (oleh Allah) dengan kemampuan yang berbeda-beda sehingga mereka secara instinktif diperintah untuk hidup bersama, bekerja bersama, dan saling memanfaatkan keterampilan mereka masing-masing. Namun demikian Islam tidak memberikan superioritas kepada kepada siapapun, Karena itu Individu-individu memiliki kesamaan dalam harga dirinya sebagai manusia. Tidak ada pembedaan bisa diterapkan atau dituntut berdasarkan warna kulit, ras, kebangsaan, agama, jenis kelamin atau umur. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban pendidikan setiap individu disesuaikan dengan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya dan dengan peranan-peranan normatif masing-masing dalam struktur sosial (Wawla, tt, hlm. 325).
GAMBAR 1
EFISIENSI DALAM MEMBANGUN HAK DAN KEWAJIBAN BERSAMA
















Pendidikan efisiensi membangun kebersamaan dalam pengembangan Sumber daya manusia bersandarkan pada konsep penguasaan ketrampilan (skill), kecakapan (dexterity), dan penilaian (judgment). Karenanya pembangunan (development) yang tepat adalah pemberdayaan manusia dengan cara yang terbaik yang ditujukan untuk kegiatan produktivitas yang berupa pengembangan keterampilan, dan pengetahuan. Pada prinsipnya, Sumber daya manusia bukanlah sesuatu yang sudah ada sejak lahir, melainkan kemampuan yang diperoleh kemudian sehingga SDM bisa ditingkatkan dan diperbaiki. Upaya menganalisis kualitas SDM dapat dinilai dari sisi fisik dan non fisik. Dari sisi fisik dapat dinilai dari angka kematian, usia harapan hidup, ukuran dan bentuk tubuh, kekuatan dan kesegaran tubuh. Sedang dari sisi bukan fisik, tingkat kepercayaan dan keimanan, tingkat kesetiakawanan sosial, kemampuan hidup penduduk yang selaras dengan tuntutan lingkungan. Dalam kehidupan ekonomi, Al-Qur’an menunjukkan banyak sekali tuntunan tatalaku agar manusia sukses di dunia dan akhirat secara seimbang (Q.S. al-Qas}as (28): 77). Kebahagiaan dan keberuntungan di akhirat merupakan insentif moral, agar orang menciptakan kebaikan dan menghindari kerusakan dan agar orang memanfaatkan kesempatan yang diperoleh dalam kehidupan di dunia ini dengan sebaik-baiknya. Karena perhitungan dan kebahagiaan di akhirat ditentukan berdasarkan pada perbuatan di dunia.
Antara pola analisis kualitas SDM dengan dibangun etika ekonomi Islam menunjukkan bahwa Sumber daya manusia bukanlah alat produksi yang sekedar memberi keuntungan semata, lebih dari itu peningkatan SDM bersama membangun sinergisitas bersama dengan dasar etika dan manusiawi. Kebersamaan dalam membangun Sumber daya manusia tidak dapat lepas pada prinsip dasar bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membentuk keseimbangan antara kebendaan dan rohaniah. Keberhasilan sistem ekonomi Islam tergantung kepada sejauh mana penyesuaian yang dapat dilakukan di antara keperluan kebendaan dan keperluan rohani/etika yang diperlukan manusia (Q.S. al-Ahza>b [33]:72; QS.Hu>d [11]:61; Q.S.al-Baqarah [2]: 30) [Atiyah, 2003, 78].
Pemanfaatan kemajuan dicapai oleh ilmu pengetahuan bisa dinikmati oleh masyarakat dari semua strata ekonomi. Nilai-nilai sosial dan humanitarin merupakan Ultimat melalui proses filterisasi moral yang bertujuan menjaga self-interest dalam batas-batas kemaslahatan sosial (social interest), dalam arti bahwa pengembangan Sumber daya manusia dilakukan dengan cara mengubah preference individu menurut prioritas sosial dan menghapuskan atau meminimalkan penggunaan sumber-Sumber daya yang bertujuan menggagalkan realisasi kemaslahtan sosial". Sistem pendidikan efisiensi pada dasarnya mendorong terjadinya equilibrium antara self-Interest dan social Interest, sehingga paradoks-paradoks yang lahir dari ketidak keseimbangan antara dua nilai ini dapat diminimalisir (Hafner, Islam Pasar Keadilan: Artikulasi Lokal, Kapitalisme dan Demokrasi, (Hafner, 2000, hlm. 212).
Upaya mencapai hal tersebut diperlukan keorganisasian yang memungkinkan masyarakat mencapai suatu tujuan yang tidak dapat dicapai individu secara perseorangan. Organisasi sebagai satuan sosial yang dikoordinasi secara sadar, terdiri dari dua orang atau lebih yang berfungsi atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai tujuan atau seperangkat tujuan bersama antar pemimpin (ar-ra>i) dan yang dipimpin (ar-raiyyah). Perubahan lingkungan pendidikan dan kemajuan teknologi informasi menuntut organisasi untuk memperbaharui konsep tentang kepemimpinan dalam rangka menghadapi persaingan global, kepemimpinan kerap kali dipandang sebagai kualitas pribadi yang didefinisikan dengan jelas seperti visi, kharisma, intelegensi dan keuletan yang hanya dimiliki segelintir orang saja, namun sebenarnya konsep kepemimpinan hendaknya dipahami bukan saja sebgai serangkaian kualitas individu tetapi lebih sebagai fenomena relasional.
Pengaruh pemimpin merupakan salah satu aspek terpenting kepemimpinan dalam kaitannya dengan efektivitas kepemimpinan, usaha bawahan dan kepuasan kerja bawahan, Kunci efektivitas kepemimpinan adalah perilaku yang disesuaikan dengan situasinya. Pemimpin efektif akan dapat menjalankan fungsinya dengan baik, tidak hanya ditunjukkan dari kekuasaan yang dimiliki tetapi juga ditunjukkan dari sikap atasan memotivasi karyawan dalam melaksanakan tugasnya dan meningkatkan produktifitas kerja (Hafner, 2000, hlm. 212).
Dari berbagai perspektif tersebut maka terlihat tata letak efisiensi kebersamaan dalam pengembangan Sumber daya manusia pada aspek pembangunan tata nilai keseimbangan dalam struktur kerja. Kebersamaan dalam meningkatkan kualitas etos kerja dan produktifitas dengan tidak memilah kelompok kerja dan membangun informasi berdaya saing di setiap kelompok usaha. Setiap pelaku ekonomi diberikan kesempatan untuk meningkatkan kualitas kerja, sehingga terjalin kebersamaan meningkatkan “kebutuhan” untuk memenuhi hak dasar hidup. Kualitas Sumber daya manusia tidak bisa terjalin dengan baik, jika masih terjadi kesenjangan sosial dengan pola kerja statis dan pemimpin yang tidak membangun kemitraan. Pengalaman kerja dan pelatihan tidak hanya untuk satu kelompok sementara kelompok lain hanya belajar dengan realitas lingkup kecilnya sendiri. Karenanya ilmu bantu semisal studi kelayakan, manajemen usaha, dan manejemen Sumber daya manusia semakin menjadi penting dalam menilai pola dan cara kerja menuju kebersamaan usaha.
GAMBAR 2.18
EFISIENSI KEBERSAMAAN PENGEMBANGAN SDM








Sumber: Hasil Olah Data, 2010.

Dalam pendidikan efisiensi, semua aktifitas tersebut dibutuhkan pula kreatifitas yang tidak bebas nilai. Kreativitas merupakan cara berpikir yang selalu berkembang dan inovatif sesuai dengan jamannya. Manusia diberikan kelebihan oleh Sang Pencipta berupa akal dan pikiran. Dengan akal tersebut kita bisa melakukan perenungan dan pemikiran sebagai proses untuk dapat melakukan sesuatu yang akan membuahkan hasil. Hasil itu akan baik dan bermanfaat jika dikemas dengan sesuatu yang punya nilai kreatif (Mehmed, 2001, hlm. 84). Gaya kreativitas merupakan cara seseorang dalam mengakomodasikasikan proses berpikir kreatifnya. Proses tersebut dibagi dalam dua macam yaitu: Pertama, adaptive problem solving. Gaya ini cenderung dimiliki oleh orang yang menggunakan kreativitasnya untuk menyempurnakan sistem dimana mereka bekerja. Hal-hal yang terlihat pada cara mereka yang akan berusaha sebaik mungkin untuk membuat sistem menjadi lebih baik, lebih cepat, lebih murah dan efisien. Apa yang mereka lakukan akan dapat dilihat hasilnya secara cepat. Oleh karena itu mereka lebih sering mendapat penghargaan.
Kedua, innovative problem solving, gaya ini dimiliki orang dimana cara kerjanya cenderung menantang dan mengubah sistem yang sudah ada. Mereka ini sering disebut sebagai “agent of change” karena lebih memfokuskan pada penemuan sistem baru daripada menyempurnakan yang sudah ada. Dalam perusahaan mereka biasanya ada pada bagian-bagian yang melakukan riset, penciptaan produk baru, mengantisipasi kebutuhan pelanggan tanpa diminta, dan orang-orang yang menjaga kelangsungan hidup perusahaan di masa yang akan datang. Kedua gaya tersebut tidak bisa bebas nilai, tetap berpijak pada nilai-nilai Syari’ah (Choudary, 2000, hlm. 34). Dalam melakukan kreatifitas usaha dilakukan dengan tahapan yaitu: Pertama, eksplorasi, Pada tahap ini pekerja mengidentifikasikan hal-hal apa saja yang ingin dilakukan dalam kondisi yang ada dalam lingkungan proses berpikir kreatif. Kedua, Inventing, Pada tahap ini, sangat penting bagi perusahaan atau usaha untuk melihat atau mereview berbagai alat, teknik dan metode yang telah dimiliki yang mungkin dapat membantu dalam menghilangkan cara berpikir yang tradisional.
Ketiga, Tahap memilih dimana satu perusahaan atau satu usaha mengidentifikasi dan memilih ide-ide yang paling mungkin dan mudah untuk dilaksanakan. Keempat, implementasi, Tahap akhir untuk dapat disebut kreatif adalah bagaimana membuat suatu ide dapat diimplementasikan. Seseorang bisa saja memiliki ide cemerlang, tetapi jika ide tersebut tidak dapat diimplementasikan, maka hal itu menjadi sia-sia saja, atau dapat diimplemtasikan namun melanggar aturan-aturan, maka hal itu juga tidak dapat dibenarkan (Asyaari, 2000, hlm. 22-23).
Pendidikan efisiensi mengarahkan pada pengambil kebijkan agar seorang karyawan yang bekerja dengan benar, akan menerima dua imbalan, yaitu imbalan di dunia dan imbalan di akherat. Ayat di atas bermakna bahwa janganlah seseorang merugikan orang lain, dengan cara mengurangi hak-hak yang seharusnya diperolehnya (Shihab, 2000, 342). Dalam pengertian yang lebih jauh, hak-hak dalam upah bermakna bahwa janganlah mempekerjakan upah seseorang, jauh dibawah upah yang biasanya diberikan. Misalnya saja untuk seorang staf administrasi, yang upah perbulannya menurut pasaran adalah Rp 900.000,-. Tetapi di lembaga pendidikan memberi upah Rp 500.000,-. Hal ini berarti mengurangi hak-hak pekerja tersebut. Dengan kata lain, perusahaan tersebut telah memotong hak pegawai tersebut sebanyak Rp 400.000,- perbulan. Jika ini dibiarkan terjadi, maka lembaga kependidikan sudah tidak berbuat layak bagi si pekerja tersebut.
Kebebasan berusaha dan berkreatifitas dapat berjalan dengan optimal, manakala upah dalam dimensi moral yang bercirikan adil dan layak dilaksanakan. Dalam arti bahwa adil diberikan harus jelas, transparan dan proporsional sesuai dengan tingkat kreatifitas yan dibuat, layak berarti dapat mencukupi kebutuhan pangan, sandang dan papan serta tidak jauh berada di bawah pasaran. Aturan manajemen upah ini perlu didudukkan pada posisinya, agar memudahkan bagi kaum muslimin atau pengusaha muslim dalam mengimplementasikan manajemen syariah dalam pengupahan karyawannya di perusahaan. Nabi Muhammad Saw. mewariskan pula pilar tanggung jawab dalam kerangka dasar etika bisnisnya. Kebebasan harus diimbangi dengan pertanggungjawaban manusia, setelah menentukan daya pilih antara yang baik dan buruk, harus menjalani konsekuensi logisnya (Q.S. al-Muddathir [74]: 3; Q.S. Al-An'a>m [6]:164; Q.S. Al-Ra’ad [13]: 11; Q.S. Al-Anfa>l [8]: 25.
Pada umumnya, tantangan sekolah bersumber dari output sekolah yang dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu kualitas, produktivitas, efektifitas dan efisiensi (Depdiknas,2003). Kualitas adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan
kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan, kualitas yang dimaksud adalah kualitas output sekolah yang bersifat akademik misalnya NEM, LKIR dan non akademik misalnya olahraga dan kesenian. Mutu output sekolah dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input dan proses persekolahan. Produktivitas adalah perbandingan antara output sekolah dibanding input sekolah. Baik output maupun input sekolah adalah dalam bentuk kuantitas. Kuantitas input sekolah yaitu jumlah guru, modal sekolah, bahan, dan energi. Kuantitas output sekolah yaitu jumlah siswa yang lulus sekolah tiap tahunnya. Jika tahun ini sebuah sekolah lebih banyak meluluskan siswanya daripada tahun lalu dengan input yang sama, maka dapat dikatakan bahwa tahun ini sekolah tersebut lebih produktif daripada tahun sebelumnya. Efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauh mana tujuan (kualitas, kuantitas, dan waktu) telah dicapai. Dalam bentuk persamaan efektivitas sama dengan hasil nyata dibagi dengan basil yang diharapkan. Jika NEM SMA idealnya berjumlah 70, namun NEM yang diperoleh siswa hanya 40, maka efektivitasnya adalah 40 : 70 57,14%.

Kesimpulan
Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat ini diwujudkan oleh pemerintah melalui penyelenggaraan pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan tinggi yang tertuang dalam dokumen Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada awal kemerdekaan, Indonesia mewarisi banyak sekolah-sekolah peninggalan Belanda, baik sekolah dasar, menengah maupun pendidikan tinggi. Adanya infrastruktur pendidikan peninggalan Belanda tersebut mempermudah pemerintah dalam menstrategikan penyelenggaraan pendidikan, dalam artian tidak memulainya dari titik nihil. Kenyataan inilah yang menimbulkan kesadaran pemerintah akan pentingnya pendidikan.
Pada awal kemerdekaan, Indonesia memberikan perhatian yang cukup besar pada penyelenggaraan pendidikan tinggi. Hal ini terbukti dengan restrukturisasi perguruan tinggi yang sebelumnya dikelola oleh Belanda, yakni Universiteit van Indonesie (Universitas Indonesia) terestrukturisasi menjadi ITB, IPB, Unpad, Unair dan Unhas. Kesadaran akan pentingnya pendidikan tinggi ini juga terlihat pada banyaknya perubahan sistem penyelenggaraan pendidikan tinggi. Perubahan tersebut tercermin pada Kerangka Pembangunan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang (KPPT-JP) yang ditetapkan oleh pemerintah sejak tahun 1975. Dokumen KPPT-JP ini selalu diperbaiki setiap sepuluh tahun sekali dengan pemberian penekanan tertentu pada arah pengembangannya. Dari semua Pendidikan efisiensi dalam semua program apapun harus dapat masuk dalam Inti dari budaya pendidikan baru yang perlu ditegakkan adalah terwujudnya pendidikan yang menempatkan Anak Didik sebagai titik sentral. Hingga kini yang menjadi titik sentral adalah Pemerintah dengan berbagai peraturannya.
Budaya pendidikan yang sekarang diperlukan titik sentral ditempatkan pada Anak Didik dengan maksud agar segala potensi positif yang terkandung pada dirinya dapat berkembang dengan leluasa serta menjadikannya manusia yang lebih bernilai, baik dilihat dari segi Inteligensi Rasional (IQ), Inteligensi Emosional (EQ) maupun Inteligensi Spiritual (SQ). Di samping hal-hal yang bersifat rohaniah ini juga diharapkan berkembang kondisi jasmaniah Anak Didik untuk menjadi manusia yang sehat kuat dan mandiri lahir batin. Dengan sikap demikian dapat diharapkan bahwa besarnya penduduk Indonesia yang sudah melampaui 200 juta orang dan hidupnya tersebar di wilayah nusantara yang dapat dinamakan benua maritim, ada maknanya. Budaya pendidikan ini merupakan landasan bagi terwujudnya masyarakat yang maju, adil dan sejahtera lahir batin. Semua faktor lainnya yang telah disebutkan mengusahakan agar Budaya pendidikan itu terwujud sesuai dengan perannya di bidang masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Moeslim , Islam Sebagai Kritik Sosial Jakarta: Erlangga

Al-Assal, Ahmad Muhammad dan Fathi> Ahmad ‘Abd al-Kari>m, 1997, Al-Niza>m al-Iqtişa>di fi> al-Isla>m (Kairo: Maktabah al-Wahbah.

Al-Syâţibî, tt, Al-Muwâfaqât fî Uşûl al-Syarî’ah, jld. 2,

Attiyah, Jamaluddin, 2003. Nahwa Taf’i>l al Maqa>sid, Beirut: Dar al-Kutub al-Arabiah
Chakraborty, Kalyan, 2001. Measurement of Technical Efficiency in Public Education: Astochastic and Non Stochastic Production Function Approach". USA: Sourthern Economic journal, NO 64(4)-889-905

Davis, John Bunnell, 1994, the Social Economics of Human Material Need, Carbondale u.a. Southern Illinois Univ. Press..

Hafner, Roobert W. 2000, Islam Pasar Keadilan: Artikulasi Lokal, Kapitalisme dan Demokrasi, Yogyakarta: LKIs, 2000

Hanafi, Mamduh M. tt, Manajemen, Yogyakarta: UPP AMPYKM, tt

Ikhwan, Muhammad, 2007, Analisis Efisiensi Lembaga Pendidikan, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang

Iqbal, Muhammad 2004, The Reconstruction Of Religious Thought In Islam (Lahore: Sang-E-Mell Publications.

Mamud, Amir , 2005, Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim Indonesia ,Jakarta: Edu Indonesia Sinergi.

Mehmed, Ozay, 2001, Islamic Identity and Development: Studies of The Islamic Periphery (New York: Chapman and Hall Inc.
Morris, Brian, 2000, Western Conceptions of the Individual, New York; Oxford: Berg

Sabiran. 2003. Profil Pembiayaan Pendidikan Untuk Meningkatkan Mutu dan Pemerataan Pendidikan Dasar. WWW.Depdiknas.go.id download 2004

Salim, Agus, 2007, Indonesia Belajarlah: Membangun Pendidikan Indonesia, Semarang: Tiara Wacana, 2007

Sarkanipitra, Murasa, Adil dan Ihsan dalam Perspektif Ekonomi Islam (Jakarta: P3EI, 2004), 6.

Smith, Roger, 2007, Being Human: Historical Knowledge and the Creation of Human Nature (New York : Columbia University Press

Zuhal, 2008, Kekuatan Daya Saing Indonesia: Mempersiapkan Masyarakat Berbasis Pengetahuan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar